JAKARTA, SUARAINVESTOR.COM– Pengamat Pasar Uang Lukman Leong melihat Bank Indonesia (BI) kurang agresif dalam menaikkan suku bunga acuan. Kebijakan menaikkan suku bunga dua kali sebesar 50 basis poin, terlambat dari sentimen pasar. “BI berusaha agresif dan menurut mereka sudah agresif, dua kali kenaikan 50 bps, itu memang agresif, namun telat. Ibarat saat pasar berharap 50 bps, agresif itu dikatakan oleh BI sebagai preventif harusnya 75 bps. Jauh jika dibandingkan The Fed yang sangat agresif,” kata Lukman, Selasa (25/10/2022).
Saat ini suku bunga acuan BI berada di angka 4.75%. Alasannya menurut Lukman, BI kurang yakin dengan angka inflasi. “BI sendiri kurang begitu yakin inflasi kedepan bisa mencapai berapa. Itu masih tanda tanya, diperkirakan Oktober saja sudah diatas 6, paling tidak 8 persen tercapai sampai akhir tahun,” kata Lukman.
Angka inflasi 8% lanjut dia, harus diwaspadai karena efek inflasi spiral. Harga yang sudah naik, akan naik lagi saat harga-harga lain naik. Suku bunga yang tidak menarik, membuat investor keluar dari Indonesia, baik dari obligasi maupun saham. Investor mengalihkan aset mereka ke mata uang dollar, sehingga rupiah melemah. Diperkirakan rupiah bisa menyentuh angka 16 ribu rupiah. “Yang penting, sentimen investor negatif, kalau sudah negatif, seperti sekarang investor sekarang sudah melepas semua, karena tidak menarik dengan suku bunga yang ada sekarang,” ungkap Lukman.
Tekanan pada mata uang dan inflasi yang kian tinggi, mesti diwaspadai pemerintah. Salah satu cara yang bisa dilakukan, menurut Lukman, adalah memastikan ketersediaan bahan pangan dan mengendalikan harga dengan operasi pasar.
Pemerintah sendiri terus menjaga inflasi dengan koordinasi dan sinergi antara TPID-TPIP. Kemudian operasi pasar juga digalakkan. “Sehingga diimbau bagi seluruh daerah untuk meningkatkan pelaksanaan operasi pasar maupun program Ketersediaan Pasokan dan Stabilisasi Harga (KPSH) berkoordinasi dengan Bulog setempat,” ungkap Menteri Koordinasi Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
Jangan Berlebihan
Sementara itu, Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah Redjalam mengungkapkan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak perlu disikapi dengan ketakutan berlebih. Menurutnya kondisi perekonomian nasional masih relatif aman, kendati rupiah terdepresiasi terhadap dolar AS yang terus menguat. “Kalau menurut saya masih relatif aman, walaupun kita mengalami tekanan rupiah. Belum menjadi sesuatu yang membahayakan perekonomian kita,” ungkapnya.
Menurut Piter, pelemahan nilai tukar, tidak hanya terjadi pada mata uang Indonesia, tetapi banyak negara yang mengalami, bahkan Inggris dan Australia mengalami pelemahan yang luar biasa. “Bahkan kalau kita lihat pelemahan mereka lebih dalam, justru misal kita lihat rupiah terhadap AUD, itu kita menguat,” sambungnya.
Piter menegaskan pelemahan rupiah harus dilihat secara jernih. Karena menurutnya ada keuntungan dan kerugian dalam penurunan nilai tukar. Pelaku ekonomi yang bertumpu pada sektor ekspor pasti diuntungkan dengan penguatan penguatan dolar AS. “Ada pihak yang justru diuntungkan oleh kenaikan harga itu atau pelemahan rupiah. Untuk eksportir, pelemahan rupiah itu menguntungkan. Kalau importir pasti akan merasa berat,” katanya.
Menurutnya, saat ini neraca perdagangan Indonesia justru lebih banyak ekspor. Artinya banyak pihak yang merasa diuntungkan dengan penguatan dolar AS. “Sekarang posisi kita bagaimana? Lebih banyak impor atau ekspor? Kalau kita lihat neraca perdagangan, kita lebih banyak ekspor dari pada impor,” tuturnya.
Meski demikian, ada pula pihak yang terdampak dari pelemahan tersebut yakni masyarakat kecil. Hal itu akibatkan harga barang impor akan terkerek naik sehingga bisa memicu kenaikan inflasi. “Berarti kelompok masyarakat bawah yang terdampak. Kalau inflasi kan yang pasti terdampak adalah orang miskin,” pungkasnya. ***
Penulis : Iwan Damiri
Editor : Kamsari