Market

Perang Ganggu Pangan dan Energi, Anis: Target Pertumbuhan Ekonomi Perlu Direvisi

Perang Ganggu Pangan dan Energi, Anis: Target Pertumbuhan Ekonomi Perlu Direvisi
Gelora Talk 'Membaca Akhir Konflik Rusia Vs Ukraina dan Bagaimana Posisi Indonesia?' yang digelar secara daring, Kamis, (10/3/2022)/Foto: Anjasmara

JAKARTA, SUARAINVESTOR.COM-Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta menegaskan, konflik Rusia-Ukraina menjadi disrupsi paling besar secara global abad ini, setelah pandemi Covid-19 dan krisis ekonomi dalam dua tahun terakhir. “Ini mengembalikan kepada sejarah 500-600 tahun terakhir ini, yaitu krisis besar dalam sejarah selalu diselesaikan dengan perang besar,” kata Anis Matta dalam Gelora Talk ‘Membaca Akhir Konflik Rusia Vs Ukraina dan Bagaimana Posisi Indonesia?’ yang digelar secara daring, Kamis, (10/3/2022) petang.

Bagi Indonesia, kata Anis, ada dua hal begitu perang ini berlanjut, yakni masalah ekonomi dan tantangan nasional baru di tengah upaya tarik menarik pembentukan aliansi baru. “Indonesia, menghadapi dua masalah besar, pertama adalah soal energi, mengingat Indonesia mengimpor minyak kira-kira 500.000 barel per hari,” ujarnya.

Kedua, harga pangan yang melambung tinggi, karena Indonesia adalah negara dengan tingkat keamanan yang relatif rapuh, mengingat beberapa komponen dari sembako masih diimpor dari negara lain. Bahkan kenaikan apa pun dari sektor pangan, akan berpengaruh terhadap harga pangan ke depan.  Karena itu, pemerintah Indonesia perlu menyiapkan skenario jangka pendek untuk memadamkan kebakaran ekonomi yang akan sangat masif ditimbulkan dari dampak perang Rusia-Ukraina ini. “Kita akan menghadapi kebakaran ekonomi dalam skala masif,” tegasnya.

Menurut Anis Mata, jika ekonomi Indonesia ingin selamat dari dampak krisis perang Rusia-Ukraina, maka perlu meniru langkah yang telah dilakukan China dengan mereduksi angka pertumbuhannya dari 8 menjadi 5,5 persen. “Saya kira kita juga akan mengalami hal yang sama seperti China, karena kebakaran ekonomi dalam jangka pendek memerlukan pemadam kebakaran.”

Lebih jauh Anis menambahkan Indonesia harus merumuskan terlebih dahulu kepentingan nasionalnya dalam jangka pendek. Perang ini memperdalam proses de-globalisasi, setelah Covid-19 dalam dua tahun terakhir,” katanya.

Secara ekonomi, lanjut Anis, semua negara akan kembali ke sistem proteksionisme, selamatkan diri masing-masing terlebih dahulu. “Jangka pendek yang kita perlu siapkan adalah pemadam kebakaran ekonomi,” tegas Anis Matta.

Hal senada disampaikan Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid. Meutya meminta pemerintah untuk mewaspadai dampak geopolitik, geoekonomi, dan geostrategi akibat perang Rusia-Ukraina. Indonesia, lanjutnya, perlu waspada terhadap perubahan geopolitik global sebagai akibat dari struktur keamanan regional yang berubah selain benturan kepentingan antarnegara dan perebutan akses energi.

Sebab, dampak tersebut tidak saja akan berpengaruh pada sektor ekonomi seperti energi, tapi juga pada sektor pangan akibat belum jelas tanda-tanda kapan konflik akan berakhir. “Kami sebagai Komisi I DPR meminta pemerintah Indonesia waspada terhadap dampak geopolitik, geoekonomi dan geostrategi perang Rusia Ukraina,” kata Meutya.

“Harapan pemulihan ekonomi Indonesia akibat pandemi tentu akan makin jauh akibat perang Rusia-Ukraina,” ujar politisi Partai Golkar ini.

Sementara mantan Dubes Indonesia untuk Inggris Dr.Rizal Sukma berpandangan, Indonesia tetap harus mengedepankan politik bebas aktifnya dalam menyikapi konflik Rusia-Ukraina saat ini. “Tetapi saya ingin katakan, bahwa ketika Bung Hatta merumuskan kata bebas aktif itu, adalah berpihak kepada kepentingan nasional Indonesia. Tetapi memang, ketika menentukan soal instrumen berpihak kepada kepentingan nasional itu yang susah,” kata Rizal.

Dengan politik bebas aktif, Indonesia sebenarnya bisa diuntungkan memiliki stratregi pertarungan dalam menghadapi dua kekuatan besar.”Jadi dengan bebas aktif, Indonesia bisa memainkan diplomasi multilateral di kawasan ini. Konteksnya, negara memastikan memiliki strategis otonomi, dan bukan menjadi tempat pertarungan dari negara-negara besar, sehingga kepentingan nasional bisa dilindungi,” kata peniliti CSIS ini.

Pengamat militer dan pertahanan Connie Rahakundini Bakrie menambahkan, Indonesia harusnya lebih berhati-hati dalam melihat konflik Rusia-Ukraina agar tidak terjebak dan terjerumus pusaran konflik yang diciptakan Amerika Serikat dan NATO. “Rusia tidak melakukan aneksasi atau invasi. Rusia tidak merancang untuk menduduki atau merebut Ukraina, hanya hegemoni Amerika Serikat (AS) dan NATO saja,” kata Connie.

Harusnya, kata Connie, Indonesia abstain. Siapa sih yang ngomongin kita tidak mesti abstain. Siapa pembisiknya harus diungkap, karena saya terlibat di Kemenlu soal pembicaraan perjanjian strategis dengan Rusia,” ungkapnya.

Menurut Connie, Indonesia harusnya tampil secara diplomatik, bukan ikut-ikutan seperti sekarang. Bung Karno jadi besar, karena kemampuan diplomasinya. “Bung Karno sudah mengingatkan, PBB harus adil. Ketika PBB tidak adil, semua ide besar, ide mulia hilang. Makanya saya setuju PBB harus direformasi,” pungkasnya. ***

Penulis    :   Arpaso
Editor      :   Budiono

 

Print Friendly, PDF & Email

BERITA POPULER

To Top