Perbankan

Menebak Nasib Bank Banten

Menebak Nasib Bank Banten

*) Uday Suhada

Memperhatikan polemik Bank Banten yang terjadi saat ini, nampak ada semacam polarisasi yang entah sengaja atau tidak bergulir. Nampak ada kubu pendukung “Bank Banten, Harga Mati” versus “Merger ke Bank BJB”. Di sini saya ingin mengajak dan mengetuk hati bersama. Mari coba lihat secara jernih persoalannya, redam dulu emosi, kesampingkan dulu persoalan ego, gengsi, primordialisme dan semacamnya. Sebab, jangan-jangan sebenarnya tidak tahu apa yang sedang terjadi. Bisa jadi justru tersulut oleh semangat bersikap tanpa memahami persoalan apa yang sesungguhnya terjadi. Apalagi jika sampai termakan oleh provokasi yang sesungguhnya memang dibuat.

Coba kita lepaskan dulu urusan dukung mendukung atau tolak-menolak rencana sejumlah anggota DPRD Banten yang akan menggunakan Hak Interpelasi yang memang melekat pada setiap Anggota DPRD. Mari hormati upaya mereka untuk sekedar bertanya kepada Gubernur Banten untuk menjelaskan duduk persoalannya secara utuh melalui mekanisme yang dijamin oleh peraturan perundangan yang ada. Apalagi sampai memaknainya sebagai upaya pemakzulan dan seterusnya.

Menurut saya, sumber persoalannya bukan semata terletak pada Pengalihan RKUD dan rencana merger Bank Banten ke Bank BJB serta rencana Gubernur mengajukan pinjaman Rp.800 milyar dari Bank BJB. Di atas segalanya, yang harus disadari dan difikirkan oleh semua komponen di Banten saat ini adalah “Selamatkan uang rakyat Banten!.”

Sebab hasil uji kelayakan (due diligence-nya) kelak, belum tentu juga BJB pada akhirnya mau mengakuisisi Bank Banten. Belum tentu juga Bank BJB mau mengucurkan pinjaman dana Rp.800 miliar kepada Pemprov Banten. Belum tentu juga BJB mau mengambil resiko terlalu besar. Sebab yang harus diingat bahwa keberadaan sebuah bank pasti tidak akan lepas dari perspektif bisnis, yang berorientasi pada keuntungan (profit). Belum tentu juga inisiatif yang diupayakan oleh 15 penanda tangan penggunaan Hak Interpelasi itu berjalan sampai pada Sidang Paripurna DPRD, semua butuh proses. Berikut sy akan coba urai benang kusut itu :

Cacat Lahir

Ibarat sebuah hasil perselingkuhan, terlahirlah Bank Banten. Ia “dilahirkan cacat”. Sejak saat proses pembentukannya sudah terlihat adanya indikasi patgulipat dan persekongkolan. Dari deretan nama bank yang layak untuk diakuisisi yang direkomendir Bank Indonesia saat itu, tak ada nama Bank Pundi. Tapi nyatanya Pemprov Banten kemudian membeli bank yg sakit itu. Bank Pundi merupakan cikal bakal dari Bank Eksekutif milik keluarga Wijaya, bank sakit ini diakuisisi Recapital Grup milik Sandiaga Uno dan Rosan Roeslani pada tahun 2010. Sebagaimana yang terjadi sebelumnya pada Bank Eksekutif, persoalan kredit macet pada akhirnya juga dialami Bank Pundi, dan ambruk.

Entah siapa saja yang berselingkuh dan kemudian mampu memaksa Pemprov Banten melalui BUMD bernama PT. Banten Global Development (BGD) membeli Bank Pundi pada 2016. Nilai asset Bank Pundi saat tahun 2015 itu ditaksir hanya sekitar Rp.300 milyar. Tapi Pemprov Banten saat itu merogoh kantong Agustus 2016 sebesar Rp.600 miliar. Sangat mungkin di pembayaran, nilai asetnya semakin menyusut. Mengapa bisa semahal itu untuk sekedar mendapatkan saham 51% ?. Hingga kini tidak ada yang mampu menjawab siapa saja Penumpang Gelap disana.

Aroma Korupsi

Setelah terlahir, kita disuguhkan fakta bahwa terjadi Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam perkara Suap Ijin Pendirian Bank Banten yang menyeret Dirut PT.BGD, Wakil Ketua DPRD dan 1 anggota DPRD Banten, pada 1 Desember 2015. Inilah yang saya maksud dengan istilah ‘hasil perselingkuhan’ dan kemudian ditelantarkan oleh “Bapak Tirinya”.

Bahkan informasi terakhir, pekan ini Direskrimsus Polda Banten dalam rilisnya telah menetapkan 3 orang Tersangka di tubuh BGD dalam kasus Korupsi Perjanjian Pinjaman Modal Kerja (PPMK) proyek Pertambangan di Bayah yang nilai kerugian keuangan negaranya sebesar Rp.5,25 milyar pada tahun 2015, sebagaimana hasil LHP BPKP tertanggal 17 Juli 2019. Muncul pertanyaan baru, apa hanya satu KSO itu yang dilakukan oleh BGD selama ini, dan bagaimana realisasinya?

Sejak terlahir, publik Banten juga tidak pernah mendengan bahwa Bank Banten meraup keuntungan, serupiah pun. Yang terjadi selalu rugi dan rugi. Untuk sekedar menghidupi diri sendiri saja tidak mampu. Pada akhir 2016 Bank Banten tercatat mengalami kerugian Rp157 miliar; tahun 2017 rugi Rp.76 miliar; tahun 2018 rugi Rp.100 miliar; tahun 2019 rugi Rp.108 miliar; dan di awal tahun 2020 rugi Rp.33 miliar. Jika diakumulasi, kerugian yang dialami Bank Banten selama hidupnya sebesar Rp474 miliar. Artinya uang rakyat Banten sudah hilang Rp.474 miliar.

Di pasar modal, harga saham emiten perbankan dengan kode BEKS (sama dengan kode Bank Eksekutif maupun Bank Pundi) ini juga berkutat di angka Rp.40/lembar sampai Rp.50/lembar. Artinya kandas di bawah, mengingat Harga Dasar di BEI (Bursa Efek Indonesia), harga terendahnya Rp.50/lembar.

Logika saya sebagai orang awam, potensi kerugian Bank Banten akibat kredit macet mestinya tidak ada atau setidaknya sangat kecil. Sebab nasabah utamanya diantaranya seluruh ASN Pemprov Banten, seluruh Anggota DPRD. Jika berhutang, resiko kredit macetnya tidak ada. Tinggal dipotong gajinya setiap bulan, selesai urusan. Jadi sangat aneh jika ada pihak yang menuding bahwa para ASN menjadi bagian dari penyebab kredit macet di Bank Banten. Lain hal dengan bank swasta, yang ketika mengucurkan kredit, resiko kredit macetnya sangat terbuka. Karenanya mereka mengantisipasi dengan uji kelayakan si pemohon kredit secara ketat.

Tahun lalu saya sudah pernah mengingatkan, suntikan dana dari Pemprov (sekali lagi sumbernya dari uang rakyat), itu ibarat menebar garam di laut. Kini terbukti, Bank Banten makin sakit dan sekarat. Maka pertanyaannya, apakah kita akan keukeuh mempertahankan keberadaan Bank Banten, dengan resiko setiap saat terus merongrong keuangan negara melalui Pemprov Banten ? Jika ini terus berlanjut, siapa yang sebenarnya diuntungkan? Siapa yang harus bertanggung jawab ? Rakyat Banten? Oh tidak !.

OJK dan Konsultan

Pada proses pembentukannya, yang membidani Bank Banten itu ada banyak pihak. Ada Pihak BGD sebagai kepanjangan tangan Pemprov Banten; ada Pihak Konsultan Keuangan yang dibayar puluhan milyar saat itu – yang belakangan ternyata diblack list karena manipulasi data; Ada Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga yang melakukan Kajian Ilmiahnya, serta sejumlah pihak yang memerankan diri hingga Bank Banten lahir.

UU Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang telah diresmikan pada 16 Juli 2012 mengamanatkan, bahwa fungsi dan tugas OJK di bidang perbank-an diantaranya adalah melakukan pembinaan, pengawasan dan pemeriksaan bank; Melakukan pemeriksaan khusus dan investigasi terhadap penyimpangan yang diduga mengandung unsur pidana di bidang perbank-an; Melaksanakan remedial dan resolusi bank yang memiliki kondisi tidak sehat sebagai tindak lanjut dari hasil pengawasan bank yang normal.

Adapun rekomendasi OJK kepada Gubernur Banten belakangan ini agar dana Kas Daerah yang ada di Bank Banten sebesar Rp.1,9 triliun dikonversi menjadi Penyertaan Modal ke Bank Banten dengan memberi tenggat waktu 1,5 bulan. Nampak betul bahwa OJK hanya memikirkan sektoral lembaganya. Tanpa memikirkan bahwa duit yang dipakai ini adalah Uang Negara. Selama ini Pemprov adalah lawan tak sepadan, yang mudah untuk dipatahkan argumentasinya. Gertaknya kemudian: Injection Dana lagi !.

Pertanyaan lain kemudian muncul, para pembesar BGD, jajaran Komisaris dan Direksi Bank Banten selama ini kemana saja dan ngapain saja? Padahal gaji mereka besar dengan segala fasilitas penunjangnya, seperti para pimpinan bank lain yang sehat dan menguntungkan pemilik bank. Pihak Manajemen Bank Banten beberapa hari yang lalu sempat melontarkan statement soal jaminan keamanan seluruh simpanan nasabah selama proses merger berlangsung. “Dijamin melalui program penjamin Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)”. Benarkah demikian ?

Saham Ghaib

Pemprov Banten ternyata hanya memiliki 51% saham saja. Artinya ada 49% dipegang oleh Pihak Lain – “Ghoib”. Tentu saja Saham Pemprov tidak untuk diperjual belikan. Karena harus terjamin bahwa uangnya ada (likuid) untuk terlaksananya program pembangunan. Namun bagi pemilik saham 49% lainnya adalah ladang untuk meraup keuntungan. Jika dengan suntikan modal diberikan oleh Pemprov, otomatis sentimen positif akan muncul dan nilai jual saham akan dengan sendirinya naik. Inilah salah satu peluang mereka untuk bermain. Sebab salah satu kunci utama dunia perbank-an adalah soal trust.

Pertanyaannya, pernah kah Pemprov Banten menjelaskan kepada publik, siapa saja pemilik saham 49% itu ? Setidaknya pada saat Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Tanggung jawab atas persoalan yang muncul mestinya bukan saja ada pada Pemprov Banten (yang dipimpin Gubernur) 51%. Melainkan juga pemilik 49% saham di dalamnya. Sebab dengan hanya 51%, Pemprov tidak bisa menguasai RUP (setidaknya 68% untuk ultimate majority).

Dilema WH

Posisi Gubernur Banten saat ini ada di persimpangan, maju kena, mundur kena. Faktanya Bank Banten saat ini sedang sekarat. Opsi memberikan suntikan dana besar untuk disulap menjadi Saham sebagaimana direkomendir oleh pihak OJK, tentu akan relatif lebih aman. Tetapi itu bukan merupakan representasi dari kepentingan publik Banten yang Menjamin Bank Banten akan hidup sehat. Sebaliknya jika tidak disuntik modal, maka konsekuensinya akan ada dua dampak: (1) Bank Banten mati semati-matinya dan (2) Terjadi kerugian keuangan negara. Sebab uang yang ada di Bank Banten akan hilang ditelan bumi.

Sebetulnya jika memiliki keseriusan dalam upaya penyehatan dan penyelamatan uang rakyat yang ada di BGD dan Bank Banten, WH sebagai ‘bapak tiri’ Bank Banten mestinya bisa melakukan cut-off nilai kerugian Bank Banten masa sebelum dan sesudah ia menjadi bapak tiri sebagai Gubernur Banten). Namun ternyata tidak mampu. Ratusan miliar uang rakyat habis begitu saja tanpa pertanggungan jawab yang jelas.

Maka dari itu, hemat saya, langkah yang harus dilakukan Gubernur, Pertama, adalah segera membongkar akar persoalan di tubuh BGD dan Bank Banten. Minta pertanggung jawaban jajaran Komisaris dan Direksi di PT. BGD dan Bank Banten. Ngapain saja mereka selama ini?Dipakai untuk apa uang rakyat Banten selama ini? Kemudian sampaikan secara terbuka kepada publik, berapa rupiah uang negara yang sudah masuk ke Bank Banten selama ini?; Berapa estimasi nilainya yang tersisa saat ini?.

Saya sangat setuju bahwa kita harus berikhtiar untuk menyelamatkan Bank Banten. Tapi hitunglah dulu dengan benar, obyektif – tanpa manipulasi, berapa rupiah lagi yang harus digelontorkan yang akan menjamin bahwa Bank Banten akan hidup sehat. Hadirkan Auditor Independen.

Kedua, Gubernur harus merombak total jajaran Direksi dan Komisaris di lingkungan PT. BGD dan Bank Banten. Carilah orang-orang yang benar-benar ahli dalam menyembuhkan sebuah bank yang sedang sakit. Bukan menempatkan orang-orang yang sekedar merepresentasikan kepentingan kekuasaan.

Jika hal tersebut tidak dilakukan, jangan-jangan suntikan dana tambahan itu hanya sekedar untuk memperlambat kematian Bank Banten, bukan menyehatkannya. Jika itu yang terjadi, maka dipastikan akan makin besar lagi kerugian keuangan negara (uang rakyat). Jika ada potensi kerugian keuangan negara, maka harus ada yang bertanggung jawab secara hukum Tindak Pidana Tertentu (kejahatan perbank-an), sila KPK, POLRI atau Kejaksaan “hadir” disana.

Dari sana insya Allah akan bisa diurai, apa sesungguhnya penyebab sekaratnya Bank Banten. Apakah karena kegagalan bisnis semata? Apakah karena kecerobohan dalam pengambilan kebijakan (unprocedural)?, apakah karena SDM yang tidak memiliki kompetensi atau ada mafia di belakangnya?

Harus diingat, Penjelasan LPS atau OJK, juga belum tentu benar. Sebab perspektifnya berbeda. Mereka urusannya pada Perspektif bisnis, sedangkan kita (setidaknya saya) perspektifnya soal nasib kerugian keuangan negara. Bagi saya, sepanjang uang Rakyat aman, disimpan di BankKawarah pun tak masalah.
Wallahu’alam.

Disampaikan dalam acara Diskusi Publik, “Nasib Bank Banten” di cafe UmaKite Taktakan Serang, Minggu, 14 Juni 2020. ***

*) Direktur Eksekutif Aliansi Independen Peduli Publik (ALIPP)

Sumber:  bantennews.co.id (artikel sudah tayang dengan judul Silang Sengkarut Bank Banten)

Print Friendly, PDF & Email

BERITA POPULER

To Top