Market

Banyak “Kompromi”, Revisi UU Perlindungan Konsumen Tak Dijamin Selesai 2023

Banyak "Kompromi", Revisi UU Perlindungan Konsumen Tak Dijamin Selesai 2023
Diskusi Forum Legislasi bertajuk “Urgensi Revisi UU Perlindungan Konsumen” di Gedung DPR/Foto: Anjasmara

JAKARTA, SUARAINVESTOR.COM—Meskipun Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang dinilai sudah tidak sesuai dengan perkembangan teknologi digital, namun tidak ada jaminan akan mulusnya revisi produk legislasi tersebut di DPR karena adanya konflik kepentingan. Apalagi RUU Perlindungan Konsumen ini lebih banyak “kompromi”.  “RUU Perlidungan Konsumen ini kemarin masuk RUU Prioritas 2023, namun sampai sekarang Komisi VI DPR belum menerima draf RUU-nya. Saya tidak bisa menjamin undang-undang itu akan cepat selesai karena ini lembaga politik yang ada tarik-menarik kepentingannya,” kata Anggota Komisi VI DPR, Darmadi Durianto dalam diskusi Forum Legislasi bertajuk “Urgensi Revisi UU Perlindungan Konsumen” di Gedung DPR, Selasa (14/3/2023)

Politisi PDIP itu menambahkan bahwa Undang-Undang yang diberlakukan sejak 1999 itu sudah terlalu tua untuk memberikan perlindungan kepada konsumen dan banyak situasi yang sudah berubah. Selain tidak sesuai dengan zaman, undang-undang itu dibentuk usai krisis ekonomi 1998 sehingga sudah tak mampu mengakomodir perkembangan dunia teknologi perdagangan setidaknya dalam 24 tahun terakhir ini.

Namun demikian, Bendahara Megawati Institute itu berharap produk legislasi itu bisa diselesaikan pada tahun depan meskipun suasana politik mulai terasa saat menjelang Pemilu 2024. Karena itu, DPR masih menunggu seperti apa revisi RUU Perlindungan Konsumen yang selama ini dinilai kurang mendapat perhatian tersebut. Apalagi masalah perlindungan konsumen cukup kompleks. “Memang di Komisi VI di beberapa periode ini, banyak RUU yang belum menjadi undang-undang, termasuk BUMN, KPPU Nomor 5/99, dan sekarang UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999.”

Konflik kepentingan

Sementara itu, Kepala Badan Keahlian DPR, Inosentius Samsul mengatakan RUU inisiatif DPR itu tersendat-sendat karena ada konflik kepentingan antara pelaku usaha dan konsumen. “Jadi sesederhananya nanti kalau ada undang-undang yang mendorong perlindungan konsumen, pasti ada pihak yang dirugikan atau yang terganggu kepentingannya,” ujar Inosentius. Karena itu, ujarnya, diperlukan persamaan persepsi terkait perlindungan konsumen dari semua pihak yang berkepentingan.

Dia menilai UU Perlindungan Konsumen merupakan wujud dari demokrasi ekonomi sehingga tidak mudah untuk melahirkan inisiatif-inisiatif yang memberikan suatu hak yang kuat kepada konsumen. Sementara pada sisi lain pelaku usaha ingin mendominasi kegiatan, bahkan mengeksploitasi konsumen dan produk-produk yang bermutu rendah sehingga merugikan konsumen, katanya.

Sedangkan terkait substansi undang-undang, lebih jauh Inosentius mengatakan bahwa pengertian konsumen saja sudah perlu dievaluasi. Dia mengatakan dulu undang-undang konsumen hanya dalam artian individu. Sedangkan sekarang konsumen bisa berarti badan atau lembaga seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). “Makanya pada saat itu YLKI mengajukan diri, menetapkan dirinya sebagai konsumen, padahal itu bukan individu. Nah ini contoh yang perlu kita ubah pengertian konsumen yang tidak hanya individu tetapi juga badan atau lembaga,” ujarnya.***

Penulis       :     Chandra 

Editor        :      Chandra 

Print Friendly, PDF & Email

BERITA POPULER

To Top