JAKARTA,SUARAINVESTOR.COM – Gagasan Two States Solution bagi Palestina dan Israel bukanlah ide baru, tetapi gagasan lama yang merupakan kesepakatan global melalui resolusi-resolusi PBB era 1970-an. Secara historis bisa dilacak sejak awal 1930-an dengan adanya harapan agar dua negara tersebut dapat hidup berdampingan secara damai. Meski persoalan tapal batas sampai saat ini masih jadi persoalan.
Demikian disampaikan Din Syamsuddin dalam diskusi secara webminar di Universitas Paramadina Jakarta, dan CDCC
“Solusi Dua Negara (Palestina dan Israel)” bersama Ahmad Khoirul Umam,Ph.D pada Rabu (29/9/2022), dan diskusi dipandu oleh Prof Dr Didik J Rachbini, MSc.,Ph.D, Rektor Universitas Paramadina Jakarta.
Lebih lanjut Din mengatakan, Ide Two States Solution adalah ide dan harapan yang realistis setelah jalur konflik militer dan diplomasi untuk menyelesaikan persoalan Palestina dan Israel telah meminta banyak korban di pihak Palestina, namun juga kelelahan psiksi di kedua belah pihak.
“Konflik juga telah membawa dampak global berupa munculnya gerakan-gerakan fundamentalisme, radikalisme di dunia Islam, oleh sebagian kecil kelompok yang mendukung Palestina maupun para pengungsi Palestina, dengan muara persoalan ketidakadilan yang diderita rakyat Palestina,” jelas Din.
Sementara itu, beberapa negara OKI telah melangkah lebih maju seperti Mesir, Uni Emirat Arab, Jordania dan terakhir sedang berproses, Arab Saudi untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel.
Selain itu kata Din, OKI juga menganjurkan Two State Solutions dalam sikap politiknya. Hubungan dagang langsung dengan Israel secara diam-diam juga telah dilakukan oleh bebeberapa negara Islam yang tidak mempunyai hubungan diplomatik, seperti Indonesia.
Menurutnya, solusi dua negara adalah langkah terbaik, namun menghadapi beberapa kendala serius, seperti masalah perbatasan Palestina – Israel. “Palestina menginginkan tapal batas sebelum perang 1967 namun Israel menolaknya. Sebelum perang 1967 berarti Dataran tinggi Golan harus diserahkan ke Syria, juga Jerusalem yang harus diserahkan ke Palestina,” ungkapnya.
Tapi, Israel menolak karena negaranya telah membangun banyak pemukiman baru Yahudi di wilayah tepi barat yang diduduki. Ditambah sikap Knesset Israel yang agresif dan menjadikan Jerusalem sebagai Ibukota Israel menggantikan Tel Aviv.
“Langkah tersebut didukung oleh USA dan negara-negara Barat termasuk Australia yang membuka kedutaan besar di Jerusalem,” tambah Din.
Menurut mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu, ide Solusi Dua Negara yang tiba-tiba ditawarkan PM Israel yang baru dan Joe Biden, tidak lepas dari global power shifting dengan bergesernya bandul politik global ke China sebagai new super power ekonomi. China berhasil membuka koridor ekonomi ke banyak negara terutama Asia Selatan seperti Pakistan, dan juga terkini dengan Afghanistan setelah USA pergi, disamping negara-negara anggota ASEAN.
Dikatakan, bahwa upaya Two States Solution juga harus melibatkan dan sosialisasi intens secara Person to Person (P to P) dengan jalinan pertemanan tokoh-tokoh yahudi dunia.
“Ada 2 organisasi komunitas Yahudi internasional yang berpengaruh, Pertama, World Jewish Congress, dan kedua, American Jewish Committee di New York yang sering mengundang tokoh-tokoh Indonesia. Kepada komunitas Yahudi internasional tersebut ide solusi dua negara harus lebih serius disuarakan.
Nah, Indonesia juga harus lebih keras bersuara di forum OKI untuk menggoalkan ide solusi dua negara. “Meski ada kondisi global injustice dan standar ganda oleh USA dan Barat, namun kepada anggota OKI terutama yang dipandang moderat seperti Turki, Pakistan dan Maroko harus dapat membangun kemitraan strategis menghadapi USA dan Barat, terutama untuk menggoalkan ide Solusi Dua Negara,” ungkapnya.
Dukungan Internasional
Sementara itu menurut Ahmad Khoirul Umam, dalam konteks neorealis, apa yang terjadi di Palestina dan Israel tidak terlepas dari dukungan kuat internasional termasuk gagasan Two States Solution yang disampaikan PM Israel dan Joe Biden.
“Ada perbedaan signifikan dulu dan sekarang. Kalau dulu, dunia Arab sangat solid. Beberapa kali perang Arab – Israel, dunia Arab nampak solid hingga pada era perang Yom Kippur 1973, Israel hampir saja kalah. Ketika itu suara dunia Arab bulat : No peace, No Nego!. Namun pada hari ini di dunia Arab telah terjadi pergeseran pendirian. Beberapa negara Arab telah membuka hubungan diplomatic dengan Israel, dan aktor utama untuk itu nampaknya pihak Arab Saudi,” kata Umam.
Menurut Umam, bahwa pergeseran posisi dunia Arab terletak pada faktor : Tingginya ketergantungan proteksi militer negara-negara Arab kepada USA. Terdapat Private Military Company (PMC) yang dimiliki oleh para veteran perang USA yang diperkerjakan di sejumlah negara-negara timur tengah.
USA kata Umam, berhasil mengubah persepsi ancaman baru di negara-negara timur tengah. Saat ini yang menjadi ancaman baru adalah Iran. Ancaman ke Iran tersebut membuat Israel lebih leluasa. Namun, masalah Palestina kemudian tidak lagi menjadi prioritas bagi politik luar negeri negara-negara Arab.
Hal itu lanjut Umam, membenarkan tesis Huntington 30 tahun lalu yang menyebutkan : Islam memang sebuah kesadaran besar, tetapi tidak didasarkan pada kohesi yang kuat bagi masyarakatnya.
Hambatan utama bagi perdamaian Israel dan Palestina adalah maslah perbatasan, di mana Israel tidak mau menyerahkan batas wilayah yang didudukinya pada Perang 1967, karena masing-masing mempunyai persepsi.
“Wilayah Tepi Barat Palestina telah dibangun dan dikembangkan oleh Israel dengan membangun ribuan perumahan Yahudi. Israel juga tidak mau membagi ibukota Jerusalem menjadi dua, sebagaimana tuntutan pihak Palestina yang menghendaki Jerusalem Timur,” jelas Umam.
Masalah lain yang juga berat kata Umam, adalah 5 juta pengungsi Palestina yang terpaksa mengungsi sejak Perang 1948. Para pengungsi Palestina pasti ingin kembali ke tanah asal mereka, sementara Israel menolak karena salah satu pertimbangan, yakni perubahan komposisi penduduk, yang akan berubah paska kembalinya para pengungsi Palestina.
Maka, Global Power Shifting dengan munculnya China sebagai kekuatan ekonomi baru, harus jadi momentum penting. OKI harus diberdayakan untuk menggoalkan ide Solusi Dua Negara. “Indonesia jelas harus berperan aktif dengan membangun sinergi aktif dengan negara-negara moderat seperti Turki, Jordania, Maroko, Emirat Arab, Qatar, Jordania dan Arab Saudi. Serta negara-negara Asia Selatan Pakistan dan Malaysia,” tambahnya.
Tantangan lain adalah masih terbelahnya faksi-faksi perlawanan Palestina seperti Fatah dan Hamas. “Fatah menggunakan konsep sekularisme negara, namun Hamas berdasarkan pada konsep keagamaan. Syukur álhamdulillah, Indonesia telah selesai dengan masalah-masalah tersebut dengan menjadikan Pancasila sebagai basis dialog Kenegaraan dan Keagamaan,” pungkasnya.
Penulis: M Arpas
Editor: Kamsari
