*) Dr. Ir. Dewanto Indra Krisnadi, MM., MT.
Salah satu pembangkit tenaga listrik yang digadang-gadang akan menjawab kebutuhan listrik di masa datang adalah Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Energi nuklir sebagai sebuah pembangkit tenaga listrik merupakan energi baru terbarukan (EBT) yang ramah lingkungan, karena beremisi rendah, tidak menghasilkan emisi gas rumah kaca, dan dinilai mampu memenuhi kebutuhan listrik yang semakin meningkat di masa datang.
Untuk mengoperasikan sebuah PLTN tentu dibutuhkan bahan baku guna menghasilkan energi nuklir. Bahan baku yang bisa digunakan untuk pengoperasian sebuah PLTN yang paling umum digunakan adalah Uranium dan Thorium. Adapun Uranium merupakan bahan bakar nuklir yang selama ini paling banyak digunakan di dunia. Uranium adalah unsur kimia dengan nomor atom 92. Perlu diketahui, bahwa Uranium memiliki dua isotop yang dapat digunakan sebagai bahan bakar nuklir, yaitu uranium-235 dan uranium-238. Pun begitu,
Uranium-235 adalah isotop uranium yang lebih langka, tetapi lebih mudah pecah. Uranium-238 merupakan isotop uranium yang lebih umum, tetapi lebih sulit pecah.
Sementara itu, bagai bahan bakar nuklir lainya, yakni Thorium dianggap lebih potensial. Thorium, unsur kimia dengan nomor atom 90 memiliki dua isotop yang dapat digunakan sebagai bahan bakar nuklir, yakni Thorium-232 dan Thorium-233. Thorium-232 dikenal sebagai isotop thorium yang lebih langka, tetapi lebih mudah pecah, sedangkan Thorium-233 adalah isotop Thorium yang lebih umum, tetapi lebih sulit pecah.
Berdasarkan tingkat keamanannya, Thorium dianggap paling aman sebagai bahan baku PLTN. Thorium memiliki beberapa keunggulan dibandingkan bahan baku uranium, yaitu: Thorium tersedia lebih berlimpah di alam, Thorium tidak menghasilkan limbah radioaktif yang berbahaya, dan Thorium lebih mudah dikelola dan diproses. Akan tetapi PLTN Thorium masih dalam tahap penelitan dan pengembangan karena belum ada PLTN Thorium yang beroperasi secara komersial.
Berikut adalah perbandingan antara uranium dan thorium sebagai bahan bakar PLTN:
Thorium, unsur kimia dengan nomor atom 90 adalah logam putih keperakan yang banyak ditemukan pada bebatuan dan mineral. Tahapan untuk mendapatkan bahan baku Thorium untuk PLTN antara lain:
Pertama eksplorasi dan penambangan. Eksplorasi bertujuan menemukan sumber daya Thorium, dan penambangan bertujuan untuk mengekstrak Thorium dari tanah.
Kedua adalah pemurnian, dimana Thorium yang diekstrak dari tanah yang masih mengandung berbagai zat lain, termasuk unsur-unsur radioaktif, kemudian dipisahkan dari zat-zat lain tersebut pada tahap ini.
Ketiga adalah konversi, dimana Thorium yang telah dimurnikan kemudian diubah menjadi bentuk yang dapat digunakan sebagai bahan bakar PLTN. Bentuk Thorium yang dapat digunakan sebagai bahan bakar PLTN antara lain Thorium oksida (ThO2) dan Thorium heksafluorida (ThF6).
Keempat, adalah pembuatan bahan bakar. Bahan bakar Thorium untuk PLTN biasanya dibuat dalam bentuk batang bahan bakar. Batang bahan bakar Thorium terdiri dari Thorium oksida yang dicampur dengan bahan pengikat, seperti Aluminium atau Magnesium.
Hingga saat ini, di dunia belum ada PLTN yang beroperasi secara komersial dengan menggunakan bahan bakar Thorium. Namun, ada beberapa negara yang sedang mengembangkan PLTN berbahan bakar Thorium, antara lain: China yang merupakan salah satu negara yang paling aktif mengembangkan PLTN Thorium. Memiliki sumber daya Thorium yang sangat besar, yaitu sebanyak 1,4 miliar ton. China telah melakukan penelitian dan pengembangan teknologi PLTN Thorium sejak 1990-an, juga telah membangun reaktor penelitian Thorium di Lanzhou, Provinsi Gansu.
Bahkan China menargetkan untuk membangun PLTN Thorium pertamanya pada 2025 dengan kapasitas daya listrik sebesar 300 megawatt. Kemudian, India juga merupakan negara yang aktif dalam pengembangan PLTN Thorium. Memiliki sumber daya Thorium yang cukup besar, yaitu sebesar 600.000 ton. India telah melakukan penelitian dan pengembangan teknologi PLTN Thorium sejak tahun 1950-an, dan telah membangun reaktor penelitian Thorium di Kalpakkam, Tamil Nadu. India menargetkan untuk membangun PLTN thorium pertamanya pada 2030 dengan kapasitas daya listrik sebesar 1.000 megawatt.
Pun begitu, Amerika Serikat juga sedang mengembangkan PLTN thorium. Memiliki sumber daya thorium yang cukup besar, yaitu sebanyak 3,5 juta ton. Amerika Serikat telah melakukan penelitian dan pengembangan teknologi PLTN thorium sejak tahun 1960-an, dan telah membangun reaktor penelitian thorium di Oak Ridge, Tennessee. Amerika Serikat menargetkan untuk membangun PLTN thorium pertamanya pada tahun 2035 dengan kapasitas daya listrik sebesar 1.000 megawatt.
Selain negara-negara tersebut, ada beberapa negara lain yang juga aktif melakukan penelitian dan pengembangan teknologi PLTN thorium, antara lain: Jepang, Rusia, Isreal, Swedia, Inggris, Kanada, dan Australia.
Indonesia sendiri telah melakukan penelitian dan pengembangan teknologi PLTN Thorium sejak tahun 1990-an, dan Indonesia juga telah membangun reaktor penelitian Thorium di Serpong, Tangerang Selatan. Indonesia juga berencana untuk membangun PLTN Thorium, menurut Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Indonesia rencananya baru akan dibangun pada 2030-an.
Menilik dari sumber daya Thorium, Indonesia mempunyai potensi sumber daya yang sangat besar. Dari sumber data Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) pada 2020, potensi Indonesia memiliki sumber daya Thorium sebesar 140.411 ton. Sumber daya t
Thorium tersebut tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Sumatera memiliki sumber daya thorium terbesar di Indonesia, yaitu sebanyak 126.821 ton.
Lokasi penyebaran antara lain di Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, dan Bengkulu. Kalimantan memiliki sumber daya thorium sebanyak 7.028 ton, dan tersebar di Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Sulawesi memiliki sumber daya thorium sebanyak 6.562 ton, tersebar di Provinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Bahan baku Thorium di Indonesia umumnya ditemukan dalam bentuk Thorium oksida (ThO2). Thorium oksida dapat ditemukan di berbagai batuan dan mineral, seperti monazit, xenotime, dan thortveitite.
Adapun faktor risiko membangun PLTN Thorium secara umum dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu risiko teknis dan risiko non-teknis. Risiko teknis yang dapat terjadi pada PLTN Thorium antara lain kegagalan sistem pendingin yang dapat menyebabkan pelelehan bahan bakar dan pelepasan bahan radioaktif ke lingkungan. Kemudian kegagalan sistem keamanan yang dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan nuklir. Kerusakan infrastruktur, yang diakibatkan gempa bumi atau tsunami, dapat menyebabkan kerusakan pada PLTN dan menyebabkan pelepasan bahan radioaktif ke lingkungan. Sedangkan risiko non-teknis yang dapat terjadi pada PLTN Thorium adalah: ketersediaan bahan bakar, meskipun di Indonesia bahan bakar Thorium melimpah, namun ketersediaannya masih perlu dikaji lebih lanjut. Hal lainnya yaitu biaya pembangunan PLTN Thorium yang diperkirakan lebih tinggi dibandingkan PLTN konvensional, dan yang terakhir menghadapi penolakan dari sebagian masyarakat terhadap pembangunan PLTN Thorium.
Kemudian letak geografis juga harus menjadi salah satu pertimbangan dalam membangun reaktor nuklir di Indonesia. Mengingat Indonesia berada di wilayah sirkum gunung api dunia yang rawan terhadap gempa bumi dan letusan gunung berapi, maka risiko kecelakaan nuklir dapat meningkat jika tidak dilaksanakan sistem pengamanan dan keselamatan yang ketat.
Perkembangan terakhir dari tekad Indonesia untuk membangun PLTN adalah dengan ditandatanganinya kerjasama pengembangan nota kesepahaman dukungan kerja sama pengembangan PLTN berbasis Teknologi Molten Salt Reactor 2×250 MW (TMSR500) antara Dewan Energi Nasional (DEN) dengan PT Thorcon Power Indonesia.
Pihak DEN dan Thorcon sepakat untuk menyusun proposal bersama serta menyusun rangkuman hasil feasibility study (FS) yang sudah ada. Kemudian juga melakukan peninjauan atau kajian terhadap regulasi yang ada serta usulan dasar hukum dan rencana RUPTL yang dapat dijadikan acuan.
Sekarang ini DEN tengah mendorong terbentuknya Badan Pelaksana Program Energi Nuklir atau Nuclear Energy Program Implementation Organization (NEPIO).
Kehadiran badan pelaksana menjadi satu dari sekian syarat atau rekomendasi oleh Badan Tenaga Atom Internasional (International Atomic Energy Agency). Dari 19 syarat Indonesia sudah memenuhi 16 syarat yang ada. Dua syarat lainnya yakni kebijakan pemerintah dan juga penerimaan atau dukungan stakeholder.
Memang jalan masih panjang untuk mewujudkan hadirnya PLTN di Indonesia, oleh karenanya pemerintah Indonesia masih perlu melakukan kajian yang mendalam untuk meminimalkan risiko-risiko yang ada, serta memperjelas posisi PLTN sebagai energi baru dalam perundang-undangan, sebelum mewujudkan pembangun PLTN Thorium.
Pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) thorium ini juga sebagai salah satu kontributor untuk mencapai target Net Zero Emission (NZE), sebagai wujud terhadap komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi CO2 maksimal pada 2060.
*) Dosen Tetap Fakultas Teknik Elektro Universitas Pancasila / Pemerhati Energi Terbarukan