JAKARTA-Kebijakan pemerintah membuka investasi asing sebesar 100% untuk industri film alias membuka
Daftar Negatif Investas (DNI) tidak perlu ada yang ditakutkan dengan liberalisasi film. Boleh saja artis, aktor dan pemodal asing berbondong-bondong ke Indonesia untuk investasi film. “Namun jangan sampai kekuatan modal itu kemudian melarang film Indonesia masuk ke bioskop-bioskop, sehingga mengakibatkan terjadinya monopoli perfilman,” kata artis senior Roy Marten dalam diskusi publik “Menggerakkan Potensi Ekonomi Kreatif Bidang Perfilman” di ruang Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) Gedung DPR, Jakarta , Rabu (27/4/2016).
Menurut Roy, film nasional memiliki pasar sendiri dan terbukti di kampung-kampung masih sangat diminati masarakat. Saat ini, dirinya prihatin dengan dunia perfilman. Karena film-film Indonesia tidak mendapat tempat di biskop di kota-kota besar Indonesia . “Jadi, pemerintah jangan hanya mengambil pajaknya, melainkan harus membantu membangun infrastruktur untuk membangun dan membangkitkan film Indonesia ,” ujarnya.
Di sisi lain, Roy mengkritik terlalu besarnya pengaruh modal asing dalam industri film nasional. Hal itu bisa dilihat dari banyaknya film-film Indonesia tetapi sebanrnya nuansanya film asing seperti nuansa India , Tiongkok, Amerika Serikat dan sebagainya, “Itu karena penulis, sutradara, dan pemodalnya adalah dari luar. Sedangkan artis Indonesia hanya menjadi pemain,” katanya.
Dari fakta di atas, Roy mengaku sedih sebab bangsa Indonesia tidak dapat berbuat banyak untuk negerinya sendiri di bidang perfilman. Bila ini dibiarkan terus terjadi maka akan berakibat pada jati diri Indonesia karena secara tidak sengaja budaya sing disisipkan oleh asing untuk menggerus budaya Indonesia .
Sementara itu Ketua FPKB DPR RI , Ida Fauziyah menyatakan keprihatinannya terhadap film Indonesia , yang belum menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Karena dengan regulasi perfilaman ini diharapkan, film Indonesia bangkit dimana budaya dan kearifan lokal ini akan menjadi inspirasi bagi insan film untuk menjadi tuan rumah, dan jati diri bangsa Indonesia kembali. “Film Indonesia harus menjadi tuan rumah di negeri sendiri,” kata Ida Fauziah. **aec