JAKARTA, SUARAINVESTOR.COM – Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Gerindra Yan Permenas Mandenas menilai revisi UU ITE (Informasi dan transaksi elektronik) yang akan segera disahkan oleh DPR RI, ini jangan sampai memgandung arti yang multitafsir. Sebab, asas penegakan hukum itu harus dengan kepastian, bukan ketidakpastian.
Demikian disampaikan Yan Permenas dalam Forum Legislasi dengan tema “Membaca Arah Revisi UU ITE, Akankah Ruang Multitafsir Dipersempit?” bersama Samuel Abrijani Pangerapan (Direktur Jendral Aplikasi Informatika Kominfo) dan Abdul Fikar Hajar, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, di Gedung DPR RI Senayan Jakarta, Selasa (22/11/2022).
Lebih lanjut Yan Permenas menegaskan bahwa urgensinya Komisi I DPR mendorong untuk segera disahkan. Apalagi menjelang pemilu dan pilpres serentak 2024, yang dipastikan akan menimbulkan banyak ujaran kebencian di tengah masyarakat. “Jangan sampai masyarakat menyalahgunakan media sosial untuk menghujat, caci maki, menghina dan apalagi memfitnah seseorang,” ujarnya.
Sebab kata Yan, perkembangan sosial politik itu akan mempengaruhi stabilitas dan pertumbuhan ekonomi nasional. “Kalau kondisi sosial politik pemilu 2024 baik, maka akan baik pula bagi para investor. Sebaliknya, akan menghambat perbaikan ekonomi nasional dan itu merugikan masyarakat sendiri,” ungkapnya.
Sebelumnya pasal 26, 27, 28, 29, 30, 40, 45 dan lain-lain sempat menjadi kontroversi atau pasal karet. Sehingga dalam revisi kali dipastikan akan ada kepastian hukum. Kata Samuel A Pangarepan revisi itu pasti lebih baik dan tidak menjadi multitafsir. “Revisi tentu harus disepakati pemerintah dan DPR yang telah menyerap aspirasi masyarakat,” tambahnya.
Abdul Fickar Hajar menyebut revisi ini merupakan bagian dari demokrasi masyarakat. Sebab, UU ITE ini bukan hal baru, hanya tempat baru untuk ekspersikan pendapat, kritik, dan sebagainya. “Ini justru membantu DPR untuk memenuhi tuntutan masyarakat. Sehingga revisi itu suatu keharusan sejalan dengan perkembangan komunikasi di dunia cyber sendiri,” jelasnya.
Yang penting kata Fickar, masyarakat harus menjaga agar tidak masuk ke dalam unsur pidana. Maka dalam berkomunikasi itu harus menjaga ketertiban. “Jangan caci maki, memojokkan, hoaks, menghina, menyakiti, menimbulkan perselisihan, dan sebagainya inilah unsur-unsur yang bisa berujung pidana itu,” ungkapnya.
Penulis : M Arpas
Editor : Budiana