*) Gabriel Mahal
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 90/PUU-XXI/2023 mengenai syarat usia capres dan cawapres memberikan gambaran terjadinya pengabaian nilai-nilai etik dan moral. Tidak sedikit pakar hukum tata negara dan hukum administrasi negara menilai Putusan MK tersebut melanggar Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi, cacat hukum, merupakan penyelundupan hukum dan praktik nepotisme.
Putusan Majelis Kehormatan MK (MKMK) hari Selasa (7/11/2023), membuktikan adanya pelanggaran berat terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi yang telah dilakukan Ketua Hakim MK Anwar Usman. Diapun divonis diberhentikan dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi.
Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 merupakan salah satu drama di Tahun Politik. Aktor utama dalam drama MK ini adalah Ketua Hakim MK Anwar Usman yang telah diberhentikan dari jabatannya tersebut. Masih ada sajian drama lainnya.
Drama politik “cawe-cawe” Presiden Jokowi. Pada mulanya Presiden Jokowi sebagai kader PDI Perjuangan nampak jelas dan tegas mendukung Capres Ganjar Pranowo yang diusung PDIP. Politisi senior PDIP Panda Nababan di beberapa media mengungkapkan, Presiden Jokowi adalah orang pertama yang menghendaki Ganjar Pranowo sebagai Capres yang diusung PDIP. Tetapi kemudian alur cerita berubah. Presiden Jokowi nampak cenderung mendukung Capres Prabowo. Hal itu semakin jelas ketika putranya Gibran Rakabuming Raka menjadi Cawapres dari Capres Prabowo pasca Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023.
Gibran Rakabuming Raka menyajikan drama yang tak kalah menariknya. Wali kota Surakarta ini adalah kader PDIP. Sama dengan iparnya Wali kota Medan, Bobby Nasution. Pada mulanya sama-sama mendukung Capres Ganjar Pranowo. Wajar. Sama-sama kader PDIP. Tetapi kemudian, pasca putusan MK No.90/PUU-XXI/2023, Gibran maju sebagai Cawapres-nya Prabowo dari Koalisi Indonesia Maju (KIM), tanpa terlebih dahulu mengundurkan diri dari PDIP.
Sementara Bobby Nasution belakangan tidak lagi beri dukungan kepada Capres Ganjar Pranowo dan Cawapres Mahfud MD yang diusung PDIP. Dukungan diberikan kepada Capres Prabowo dan Cawapres Gibran yang diusung KIM. Tetapi enggan keluar dari PDIP.
Episode-episode drama politik yang ditonton publik ini menyajikan narasi yang sama. Tidak adanya nilai-nilai moral. Tidak adanya nilai etik dalam berpolitik. Ini persis sama dengan ajaran Niccolò Machiavelli, politikus dan filsuf Itali. Dalam karyanya yang terkenal berjudul “Sang Pangeran” (II Principe), Machiavelli menguraikan tentang tindakan-tindakan yang perlu dilakukan seseorang untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan.
Politik sama sekali tidak ada hubungannya dengan moral. Begitu ajaran Machiavelli. Etika itu mengandung nilai-nilai moral. Drama politik yang kita saksikan di Tahun Politik itu menunjukkan pengabaian nilai-nilai moral itu.
Kita juga menyaksikan dalam drama politik itu para aktor yang mencla mencle. Lain yang diucapkan, lain pula yang dilakukan. Hari ini bicara lain, besok bicara sebaliknya. Tanpa ada sedikitpun rasa bersalah. Tipu menipu sebagai hal yang biasa dan dianggap wajar. Ini juga sesuai dengan ajaran Machiavelli.
Kata-kata, janji yang diberikan adalah untuk kepentingan masa lalu saat kata-kata, janji itu diucapkan. Kata-kata yang diingkari adalah untuk kepentingan saat ini. Seseorang yang menipu selalu mendapatkan orang-orang yang membiarkan dirinya ditipu. Seorang pangeran tidak pernah kekurangan alasan yang legitimate untuk mengingkari kata-katanya/janjinya. Ini adalah ajaran Machiavelli yang nampaknya diterapkan dalam drama politik di Tahun Politik ini.
Dalam drama politik di Tahun Politik ini kita menyaksikan aktor-aktor Machiavellianism, yakni aktor-aktor politik yang memiliki kepribadian manipulatif yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya, tanpa peduli dengan nilai-nilai etika dan perasaan orang lain. Aktor-aktor ini menganjurkan agar tidak perlu menggunakan perasaan dalam berpolitik.
Aktor-aktor Machiavellianism itu menggunakan perilaku manipulatif, dan cenderung menawan dan menarik, tetapi tidak pernah bisa diduga perubahan perilakunya. Dalam “All About Machiavellianism” (https://psychcentral.com/lib/machiavellianism), diungkapkan bahwa kepribadian yang Machiavellianism itu memiliki karakter manipulatif, menipu, ambisius, minim empathy, fokus pada kepentingan pribadi, memandang semua orang sebagai musuh, dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya.
Demokrasi yang sehat itu mengandaikan penghormatan, penghargaan, dan ketaatan pada nilai-nilai etika. Tetapi demokrasi yang sehat itu tidak mungkin terwujud ketika para aktor politik menganut dan menerapkan ajaran Machiavellianism. Tidak mungkin terwujud ketika aktor-aktor politik berkepribadian Machiavellianism. Dari episode-episode drama politik yang kita saksikan nampak bahwa Tahun Politik ini menjadi Tahun Politik Machiavellianism.***
*) Praktisi Hukum