Opini

Sistem Pemilu Sudah Disepakati, Warisan Proporsional Terbuka

Sistem Pemilu Sudah Disepakati, Warisan Proporsional Terbuka
Ahmad Irawan/Foto: Dok Pribadi

*) Ahmad Irawan

Sistem pemilu menjadi proporsional tertutup kembali menjadi bahasan yang hangat setelah Ketua KPU RI Hasyim Asyhari, menyampaikan informasi dan pandangannya terkait dengan judicial review sistem proporsional terbuka yang saat ini sedang berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK). Beragam respon bermunculan terhadap pernyataan tersebut, baik yang pro maupun kontra terhadap sistem proporsional terbuka/tertutup, khususnya dari partai politik.

Secara pribadi, saya melihat sistem proporsional terbuka pilihan yang sangat lebih baik dibanding proporsional tertutup itu sendiri. Terdapat beragam kelebihan dan kebaikannya. Pastinya yang pro terhadap proporsional tertutup juga memiliki alasannya. Namun, saya tidak akan membahas posisi masing-masing partai politik terhadap pilihan sistem tersebut.

Lebih menarik jika melihat bagaimana MK memutus sistem proporsional terbuka pada Tahun 2008. Pada saat itu Mahkamah Konstitusi dipimpin oleh Mahfud MD, yang saat ini sedang menjabat sebagai Menkopolhukam di bawah kabinet dan administrasi pemerintahan Presiden Jokowi.

Putusan MK

Membuka dan mengetahui isi putusan MK menjadi penting setelah Mahfud MD pada suatu seminar dan dikutip beberapa media online mengatakan dan menegaskan Mahkamah Konstitusi tidak pernah memerintahkan pemilu menerapkan sistem proporsional terbuka. MK tidak pernah membuat putusan mengenai hal itu.

Saya sendiri ketawa saja membaca pernyataan Mahfud MD. Pada saat itu dia sedang menjabat Ketua MK. Bahkan pada saat putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 dibacakan pada Tanggal 23 Desember 2008, Mahfud MD yang memutus dan membacakannya. Satu-satunya Hakim MK pada saat itu yang tidak setuju dan menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) hanya Hakim Maria Farida Indarti.

Meskipun Hakim Maria Farida Indarti berbeda, sebenarnya dirinya ikut meyakini mekanisme suara terbanyak dalam pemilihan umum merupakan cara terbaik dan memenuhi asas demokrasi untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan kehendak pemilih. Namun, sebagai satu-satunya Hakim MK perempuan pada saat itu, terdapat juga kekhawatiran pada dirinya akan potensi pengabaian partai politik terhadap tindakan afirmatif terhadap perempuan yang telah disepakati bersama.

Kembali pada apakah MK pernah/tidak pernah memerintah proporsional terbuka, mudah untuk mencari kebenarannya. Perlu kejujuran saja untuk mengatakannya. Kita tinggal lihat saja pada penilaian dan pendapat hukum MK pada putusan tersebut. Lazimnya cara kita membaca putusan pengadilan secara baik, maka harus dibaca secara holistik dan komprehensif, termasuk dengan sistematika putusannya. Karena MK pada setiap zaman beberapa kali melakukan perbaikan terhadap sistematika putusannya.

Pada penilaian dan pendapat hukum MK, dimulai dari elaborasi dan esensi dari kedaulatan rakyat itu sendiri sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Setelah itu MK masuk pada penyelenggaraan pemilu itu sendiri hal mana MK menguraikan agar penyelenggaraan pemilu lebih berkualitas. Titik hubung dan tujuan dari kedaulatan rakyat dan kualitas penyelenggaraan pemilu yang ingin dikuatkan MK adalah agar rakyat sebagai subjek utama dalam kedaulatan rakyat tidak hanya ditempatkan sebagai objek dalam mencapai kemenangan semata. Disinilah MK memulai membuka pintu penilaian mengenai proporsional terbuka.

Di dalam penilaian MK sendiri sebagaimana termuat dalam putusan, pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka karena adanya kenginan rakyat memilih wakilnya yang diajukan oleh partai politik dalam pemilu. Harapannya wakil rakyat tidak hanya mementingkan kepentingan partai politik, tapi juga mampu membawa aspirasi pemilih. Sistem proporsional terbuka membuat rakyat secara bebas memilih dan menentukan calon anggota legislatif yang dipilih, maka akan lebih sederhana dan mudah ditentukan siapa yang berhak terpilih, yaitu calon yang memperoleh suara atau dukungan terbanyak.

Masih panjang argumentasi konstitusional MK mengenai proporsional terbuka dan suara terbanyak. Hingga pada kesimpulannya MK menilai secara teknis administratif tidak terdapat hambatan bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menetapkan anggota legislatif berdasarkan suara terbanyak. Sehingga sejak pemilu 2009, dimulailah penetapan calon anggota DPR/DPRD berdasarkan suara terbanyak. Selanjutnya, isi dalam putusan MK tersebut mengenai proporsional terbuka oleh pembentuk undang-undang diadopsi terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Hal mana terakhir oleh Presiden dan DPR disepakati bersama tidak akan diubah dan akan digunakan juga sebagai aturan main bersama untuk pemilu 2024.

Fokus 2024

Terlalu banyak isu yang dapat menghambat penyelenggaraan dan pertumbuhan kualitas dari Pemilu 2024. Mulai dari isu penundaan hingga yang terakhir masih hangat terkait dengan perubahan sistem pemilu. Entah apa yang menjadi motif utamanya. Padahal, negara ini telah melangkah jauh dan dapat dikatakan berhasil melewati fase transisi dan konsolidasi demokrasi. Sehingga dalam narasi demokrasi kita telah berkembang dan membicarakan kualitas dari demokrasi dan pemilu itu sendiri. Jadi kenapa kita harus berpikir mundur?

Pemerintah fokus saja dalam perannya untuk mendukung KPU sebagai penyelenggara pemilu berhasil menyelenggarakan pemilu bersama DPR. Bagi partai politik, sama yang harus kita lakukan. Hal yang sudah disepakati, kita jalankan saja. Terakhir, warisan proporsional terbuka merupakan warisan Mahfud MD yang kala itu menjabat Ketua MK. Jangan berubah Professor, karena putusan tersebut landmark decisions, warisan bagi demokrasi Indonesia. ***

*) Praktisi Hukum 

Print Friendly, PDF & Email

BERITA POPULER

To Top