JAKARTA, SUARAINVESTOR.COM-Kebijakan pemerintah melarang ekspor biji tambang Bauksit mulai Juni 2023 dinilai sebagai keputusan yang berani. Hal ini tentu dilandasi semangat untuk menjaga kedaulatan mineral nasional. “Jadi perlu kita apresiasi. Tentu dengan beberapa catatan strategis,” kata Anggota Komisi VII DPR, Sartono Hutomo kepada suarainvestor.com melalui pesan WhatApps (WA) di Jakarta, Selasa (27/12/2022).
Namun demikian, Politisi Partai Demokrat itu mengingatkan catatan tersebut diantaranya perlu adanya kebijakan hilirisasi yang sama untuk meningkatkan daya saing pengusaha lokal. “Jangan ada kesan ini hanya tes air terkait kesiapan pengusaha lokal, harus total pemerintah dalam mempersiapkan pengusaha lokal kita,” ujarnya.
Lebih jauh Sartono menambahkan bahwa kebijakan ini perlu dibarengi usaha diplomasi ke negara-negara luar. Sehingga meminimalisir kejadian seperti nikel, batubara dan sawit. “Karena kita yang selalu dipatahkan oleh kebijakan eropa dan negara-negara lainnya,” imbuh Legislator dari Dapil Jawa Timur VII.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengumumkan penghentian ekspor biji bauksit. Langkah penghentian itu mulai berlaku pada Juni 2023. “Mulai Juni 2023, pemerintah akan memberlakukan pelarangan ekspor biji bauksit dan mendorong industri pengolahan dan pemurian bauksit di dalam negeri,” ujar Jokowi dalam konferensi pers di Istana Merdeka, Rabu (21/12/2022)
Presiden menyebutkan, dari proses industrialisasi biji bauksit itu, diperkirakan pendapatan negara nantinya bisa naik, yakni dari Rp 21 triliun menjadi Rp 62 triliun. Pemerintah akan terus konsisten melakukan hilirisasi bahan mentah di dalam negeri. Tujuannya, nilai tambah bahan tersebut bisa dinikmati untuk kesejahteraan masyarakat. “Pemerintah terus berusaha meningkatkan industri pengolahan bahan mentah di dalam negeri. Ekspor bahan mentah akan terus kita kurangi. Industri berbasis sumber daya alam di dalam negeri akan terus ditingkatkan,” ujar Jokowi.
Pemerintah telah menghentikan ekspor biji nikel sejak 1 Januari 2020. Kebijakan ini, kata Jokowi, membuat pendapatan dari nikel melonjak, yakni dari Rp 17 triliun pada 2014 menjadi Rp 326 triliun pada 2021 atau meningkat 19 kali lipat.***
Penulis : Iwan Damiri
Editor : Kamsari