*) Dr.Ir Dewanto Indra Krisnadi, MM, MT
Salah satu poin Pakta Iklim Glasgow (The Glasgow Pact) dari hasil KTT perubahan iklim (COP26) adalah menghentikan pemakaian energi batubara secara bertahap. Hal tersebut telah disepakati negara-negara yang menjadi peserta, termasuk Indonesia. Dampaknya, khusus untuk sektor ketenagalistrikan, pemerintah Indonesia sudah berencana tidak akan lagi membuat pembangunan tambahan PLTU batubara baru, kecuali yang telah financial closing atau sedang dalam proses konstruksi.
Oleh karena itu, ini merupakan momen yang tepat untuk mengembangkan sektor ketenagalistrikan di Indonesia harus mulai total memasuki era energi baru dan terbarukan (EBT) yang menjadi fokus pengembangan. Begitupun dengan peralihan menuju energi bersih yang lebih ramah lingkungan, tentunya harus tetap berprinsip pada ketersediaan listrik yang handal, berkualitas dan dengan harga yang terjangkau bagi masyarakat.
Ketersediaan energi baru dan terbarukan di Indonesia potensinya sangat besar. Bahkan hampir semua sumber EBT potensinya terdapat di Indonesia. Apabila minyak dan gas selalu identik dengan negara-negara Timur Tengah, maka EBT identik dengan Indonesia. Semua potensi EBT melimpah dan tersedia di Indonesia, seperti Matahari, Air, Angin, Panas Bumi, Energi Laut (Ombak/Pasang surut) sampai Bio Energy yang memanfaatkan tumbuhan.
Potensi EBT di Indonesia diperkirakan lebih dari 400.000 Mega Watt (MW), bahkan 50% diantaranya atau sekitar 200.000 MW adalah potensi energi surya. Sementara pemanfaatan energi surya yang terdiri dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) skala besar dan PLTS skala Atap rumah/gedung saat ini totalnya baru sekitar 150 MW atau 0,08% dari potensi yang ada. Sebagai negara yang berada pada posisi geografis di Khatulistiwa sudah seharusnya Indonesia mengutamakan pemanfaatkan energi surya ini sebesar-besar untuk kepentingan bangsa.
Indonesia memiliki potensi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap yang cukup besar, dari data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tercatat mencapai 32,5 Gigawatt (GW), namun baru dimanfaatkan sebesar 39,28 Megawatt Peak (MWp). Sampai pada kuartal III 2021, PLTS Atap tercatat digunakan oleh 4262 pelanggan. Jumlah tersebut meningkat drastis dalam 3 tahun terakhir, dibandingkan pemanfaatan PLTS Atap pada tahun 2018 yang hanya sebesar 609 pelanggan.
Energi Surya
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan 70 MWp PLTS Atap akan terpasang pada akhir tahun 2021 kemarin. Sementara itu untuk target terpasangnya PLTS Atap secara bertahap sampai dengan tahun 2025 adalah sebesar 3600 MW dan apabila tercapai akan berpotensi menghemat biaya bahan bakar per unit kWh yang selama ini dikeluarkan. Pada pelaksanaan pemasangan PLTS Atap, pelanggan dibatasi pemasangannya paling tinggi 100% dari kapasitas daya terpasang listrik pelanggan. Misalnya kapasitas daya terpasang energi listrik pada rumah pelanggan sebesar 1.300 VA, maka pelanggan maksimal hanya bisa memasang PLTS Atap dengan daya 1.300 VA tidak boleh lebih.
Pemasangan PLTS Atap juga hanya diperbolehkan menggunakan atap, dinding, atau bagian lain dari bangunan. Pemasangan dengan memanfaatkan lahan terbuka tidak diperbolehkan. Untuk komponen yang terdapat pada PLTS Atap saat ini belum ada yang 100% buatan dalam negeri, sebagian besar masih impor. Baru sekitar 40% tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) pada komponen peralatan PLTS Atap.
Dengan pemanfaatan yang baru sekitar 39,28 Megawatt Peak (MWp), kapasitas ini masih terlalu kecil untuk kapasitas potensi energi surya di Indonesia. Oleh karena itu harus ada upaya yang signifikan untuk melakukan percepatan pemanfaatan PLTS Atap ini agar kenaikan pasarnya menjadi besar sehingga bisa menarik investor untuk membangun industri di dalam negeri. Jika industri dalam negeri terbangun akan meningkatkan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) dan ini berdampak pada harga PLTS Atap semakin murah karena tidak perlu impor lagi.
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk menaikan pemasangan PLTS seperti pembuatan beberapa PLTS, melakukan berbadai kerjasama sampai himbauan kepada semua penyelengara pemerintahan untuk memasang PLTS Atap di gedung dan sarana yang ada dibawah komandonya. Tetapi untuk lebih menstimulasi lagi dalam melakukan percepatan pertumbuhan sebaiknya pemerintah perlu juga fokus kepada penggunaan PLTS Atap perumahan.
Perlu ada kebijakan misalnya perumahan mewah dengan golongan kapasitas daya listrik tertentu wajib memasang PLTS Atap minimal berapa persen dari kapasitasnya. Secara teknis luas penampang atap juga berpengaruh terhadap kapasitas daya dari PLTS Atap, oleh karena itu sangat cocok untuk diterapkan untuk rumah mewah yang secara atap mempunyai luas penampang yang cukup besar.
Apabila ada kebijakan pemakaian masal terhadap penggunakan teknologi, sesuai hukum pasar, maka peluang terhadap teknologi yang murah akan terbuka. Teori ini dapat dimaksimalkan untuk pemanfaatan PLTS Atap. Apabila ada kebijakan wajib pemasangan PLTS Atap untuk pelanggan listrik golongan kapasitas daya tertentu tersebut dapat diterapkan, tentu aturan ini akan berakibat adanya kenaikan permintaan terhadap kebutuhan PLTS Atap yang dharapkan akan berdampak turunnya harga pemasangan PLTS Atap di pasaran.
Dampak penurunan harga PLTS Atap tersebut nantinya bisa dirasakan oleh masyarakat menengah kebawah yang kapasitas daya terpasang listrik di rumahnya kecil dan dikarenakan harga pemasangannya sudah terjangkau maka mereka bisa juga berpartisipasi menjadi pengguna PLTS Atap meski dalam skala kecil. Dengan demikian penggunaan PLTS Atap bisa menyetuh dan dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Harapan kita semua Indonesia akan dapat memaksimalkan potensi energi surya yang melimpah ini dan memenuhi kebutuhan listrik masyarakatnya melalui PLTS di dalam negerinya sendiri. Inil juga salah satu wujud komitmen Indonesia dalam peran sentralnya sebagai negara yang bisa memanfaatkan energi bersih serta turut serta dalam pengendalian perubahan iklim global dunia. ***
*) Dosen Tetap Fakultas Teknik Elektro Universitas Pancasila