JAKARTA, SUARAINVESTOR.COM- Pengamat hukum pidana Azmi Syahputra menilai praktik dugaan suap yang diduga melibatkan oknum pejabat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI dalam kasus opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) Kementerian Pertanian dengan terdakwa Syahrul Yasin Limpo (SYL), sudah masuk pelanggaran pidana.
Dalam persidangan perkara SYL Cs, disebutkan bahwa oknum pejabat BPK diduga meminta uang sejumlah Rp12 miliar untuk menerbitkan status WTP Kementan. Namun yang baru dibayarkan sebesar Rp5 miliar. “Praktik dugaan suap yang dilakukan oknum auditor dan anggota di lingkungan BPK RI itu nyata, dimana diduga telah melakukan kejahatan yang melekat dengan kedudukan atau jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya,” kata Azmi Syahputra kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (1/6/2024).
“Fungsi auditor BPK yang melekat dan strategis, kok digunakan untuk perilaku bagai ‘bandit merajalela’ dan karenanya perilaku culas begini harus diberantas habis,” tambahnya.
Menurut Azmi, kasus tersebut sungguh miris dan tindakan memalukan yang dilakukan oknum pegawai BPK. “Suap maupun pemerasan terkait laporan audit, itu terstruktur mulai dari Tim Pemeriksa, Pengendali Teknis, Penanggung Jawab dan Anggota,” jelasnya.
Lebih jauh Sekjen Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI) ini menjelaskan bahwa, siapapun yang melakukan pemerasan atau menerima suap atas jabatannya dan menerima penyuapan termasuk bagi pejabat yang membiarkan, masuk dalam kualifikasi bersama-sama dalam permufakatan jahat. “Mereka itu ikut bertanggung Jawab secara hukum karenanya harus segera diperiksa semua pihak-pihak dimaksud,” jelasnya.
Disampaikan Azmi, sangat jelas dari peristiwa dan keterangan saksi di persidangan ada permintaan oknum pegawai BPK karenanya masuk dalam kategori suap aktif (actieve omkooping). Dimana uang suap tersebut telah diterima. “Uang yang berjumlah miliaran dari manipulasi proyek telah diterima berpindah tangan sehingga perbuatan ini sudah selesai dilakukan. Jadi jelas nyata oknum para pelaku auditor BPK ini melakukan dengan sengaja, punya kehendak dan mengetahui untuk disuap secara sadar yang bertentangan dengan jabatannya,” terang Azmi.
Kembali ditegaskan Azmi, penerima suap dengan karakteristik secara aktif yang meminta maka semestinya dikenakan ancaman hukuman pidana maksimal berupa penjara seumur hidup. “Dan bagi siapapun yang menerima terkhusus bagi anggota tim BPK yang terlibat dalam kasus ini harus dipecat. Diberhentikan dengan tidak hormat. Sebab oknum BPK ini melakukan perbuatan suap dan atau patut diduga menerima uang agar tidak melakukan sesuatu dalam fungsi jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya,” ujarnya.
Azmi juga mendorong KPK untuk memperluas perkara tidak sebatas suap tetapi juga menyelidiki perbuatan lainnya berupa tindak pidana pencucian uang. “Termasuk adanya permufakatan jahat guna meminta pertanggung jawaban pidana pelaku sekaligus menjadi alasan penerapan pemberatan hukuman maksimal bagi pelaku,” kata dosen hukum pidana Universitas Trisakti ini.
Sementara itu Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC) Elizabeth Kusrini menyatakan, faktor utama yang menyebabkan BPK terlibat dalam kasus korupsi karena lembaga tersebut tidak memiliki badan pengawas yang efektif. Kondisi ini memungkinkan anggota BPK untuk bergerak secara leluasa dan memanfaatkan celah dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 untuk berbuat sewenang-wenang. “Selain KPK terdapat beberapa lembaga lain yang memiliki wewenang untuk mengusut dugaan suap dan tindak pidana korupsi, seperti Kejaksaan, Polri, Inspektorat, dan Ombudsman.
“Ombudsman meskipun tidak melakukan penyidikan, dapat berperan dalam mengawasi pelayanan publik dan dapat merekomendasikan investigasi atas dugaan maladministrasi di lembaga pemerintah itu,”kata Elizabeth.
Selain itu, sambung Elizabeth, masyarakat sipil dan media juga memainkan peran penting dalam mengawasi dan melaporkan dugaan korupsi yang dapat memicu penyelidikan oleh lembaga-lembaga tersebut. “Transparansi dan partisipasi publik sangat penting dalam upaya pemberantasan korupsi dan penegakan hukum yang adil di Indonesia,” ujarnya.
Mengenai keputusan seorang anggota BPK ditarik dari jabatannya, kata Elizabeth, biasanya didasarkan pada aturan internal lembaga tersebut dan juga aturan partai politik yang bersangkutan. Bila anggota BPK tersebut kader partai.
“Dalam praktiknya, partai politik dapat mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk aspek hukum, etika, dan citra publik, sebelum membuat keputusan. Jika ada keputusan etik yang menemukan pelanggaran berat, maka Dewan Etik BPK dapat memberikan rekomendasi sanksi, termasuk pemberhentian,” kata Elizabeth.***
Penulis : Chandra
Editor : Chandra