JAKARTA, SUARAINVESTOR.COM – Sejak Surat Presiden (Supres) terkait Revisi UU Otonomi Khusus diterima DPR pada 4 Desember 2020, maka berdasarkan penerimaan tersebut, DPR telah menindaklanjutinya sesuai dengan mekanisme Tata Tertib DPR dan merujuk pada UU Nomor 12 tahun 2011 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 15 tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sejak itu pula pembahasan tentang revisi UU Otonomi Khusus mulai bergulir.
Tapi, dalam perjalanannya, berbagai dinamika bermunculan. Mulai dari kewenangan usulan perubahan UU Otonomi Khusus, hingga pada poin-poin perubahan yang hanya menyasar 3 (tiga) pasal dalam UU tersebut, yakni pasal 1, 34 dan 76. Dinamika yang sama juga berkembang dalam proses pembahasan Panitia Khusus (Pansus) tentang Revisi (Perubahan) Kedua UU Otonomi Khusus Papua di DPR.
Demikian dikatakan Yorrys Raweyai (Ketua) dan Dr. Filep Wamafma, M.Hum (Sekretaris) MPR for Papua di Jakarta, Senin (21/6/2021).
Sebagai perwakilan rakyat yang terdiri dari Anggota DPR dan DPD dari Dapil Papua dan Papua Barat melalui Forum ‘MPR for Papua’, kata Yorrys, pihaknya telah memperoleh berbagai aspirasi, khususnya dari lembaga-lembaga formal yang selama ini merepresentasikan kepentingan Papua, yakni Pemerintah Provinsi Papua, DPRP dan MRP.
“Pada intinya mereka menyuarakan kritik atas revisi yang cenderung terbatas. Sementara persoalan Papua begitu kompleks dan menyentuh berbagai persoalan yang puluhan tahun memgemuka dan tidak memperoleh kejelasan, baik dari sisi pemakanaan maupun implementasi,” ujarnya.
Atas dasar itu lanjut Yorrys, menyikapi situasi sosial dan politik serta proses pembahasan dalam Pansus DPR RI tentang Revisi (Perubahan) Kedua UU Otonomi Khusus, ‘MPR for Papua’ menyampaikan sikap dan pandangan sebagai berikut:
1. Kompleksitas persoalan Papua belum terselesaikan secara komprehensif akibat berbagai pendekatan parsial yang diajukan sejak kebijakan Otonomi Khusus diberlakukan.
2. Berakhirnya Dana Otonomi Khusus Papua yang melatarbelakangi Revisi UU Otonomi Khusus Papua tidak bisa dijadikan dasar untuk memaksakan perubahan terbatas terhadap UU Otonomi Khusus Papua. Sebab hal itu sama halnya dengan semakin menyederhanakan persoalan Papua sebatas persoalan ekonomi-kesejahteraan yang justru hingga saat ini pun masih dipenuhi hambatan dan tantangan dalam tataran implementasi.
3. Kegagalan dalam menciptakan keadilan, kesejahteraan, penegakan hukum dan hak asasi manusia bagi masyarakat Papua merupakan kesadaran bersama yang melahirkan UU Otonomi Khusus Papua. Jika pada kenyataannya, kegagagalan tersebut masih mengemuka hingga saat ini, maka revisi terbatas atas UU Otonomi Khusus Papua, bukanlah solusi, melainkan ketidakmampuan dalam mengimplementasikan UU Otonomi Khusus secara murni, konsisten dan konsekuen.
4. Akar persoalan mendasar terkait sejarah, hak asasi manusia, pembangunan dan marginalisasi Orang Asli Papua (OAP), tidak akan terselesaikan hanya dengan revisi terbatas yang diajukan pemerintah. Sementara itu, persoalan demi persoalan akan semakin mengemuka dan menjadi beban sosial dan politik di masa-masa yang akan datang.
5. Momentum Revisi UU Otonomi Khusus Papua seharusnya menjadi instrumen bersama untuk melakukan evaluasi terhadap inkonsistensi penerapan kebijakan Otonomi Khusus Papua. Sehingga tujuan afirmasi dan proteksi terhadap Orang Asli Papua (OAP) dapat terwujud sesuai dengan cita-cita keberadaan Otonomi Khusus Papua itu sendiri.
6. Menolak Revisi UU Otonomi Khusus Papua yang diajukan oleh Pemerintah, dan meminta Pemerintah merevisi kembali Daftar Inventaris Masalah (DIM) sebagai pengejawantahan teknis revisi tersebut, hingga mampu mengakomodasi berbagai dinamika dan masukan dari berbagai pihak, khususnya yang terangkum dalam pembahasan Pansus Revisi UU Otonomi Khusus DPR RI.
Demikian pernyataan sikap dan pandangan ini diampaikan, agar dapat menjadi bahan pertimbangan untuk ditindaklajuti dalam upaya bersama melahirkan solusi komprehensif bagi Tanah Damai Papua di masa yang akan datang.