Perbankan

Hanya Motor dan Angkot, Pengamat Energi: Pembatasan Pertalite Bisa Hemat 60% Konsumsi BBM

Hanya Motor dan Angkot, Pengamat Energi: Pembatasan Pertalite Bisa Hemat 60% Konsumsi BBM
Antrian Sepeda Motor Mengisi BBM di SPBU Kawasan Cipondoh, Kota Tangerang/Foto: Anjasmara

JAKARTA, SUARAINVESTOR.COM-Pemerintah diminta tegas dalam mengambil kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi demi mengamankan kondisi APBN 2023. Karena dari hasil kajian, ternyata sekitar 60% dari konsumsi Pertalite dan Solar tidak tepat sasaran. Dengan kata lain, 60% pengguna yang tidak berhak menikmati BBM bersubsidi bisa dialihkan ke Pertamax. “Menurut saya, atasi tadi dengan pembatasan BBM bersubsidi saat ini untuk sepeda motor dan angkutan umum, maka sekitar 60% bisa diselamatkan oleh pemerintah,” kata Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi kepada wartawan, Selasa (23/8/2022).

Menurutnya, efek kenaikan harga bagi pengguna yang tidak lagi boleh mengkonsumsi BBM bersubsidi bisa dilokalisir, sehingga dampak inflasi tidak terlalu tinggi. Jika strategi pembatasan berhasil, maka APBN bisa diselamatkan sekaligus bisa mengendalikan inflasi. “Inflasinya berpengaruh tapi tidak signifikan. Kalau 60% diselamatkan, (inflasi) bisa 0,5%. Asal solar tidak naik,” ujarnya.

Lebih jauh Fahmy mengungkapkan keyakinannya bahwa Presiden Joko Widodo tidak akan menempuh kebijakan menaikkan BBM bersubsidi mengingat ancaman inflasi dan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi. “Saya tidak yakin Pak Jokowi mau mengorbankan pertumbuhan ekonomi yang sudah dicapai dengan susah payah ini,” ungkapnya.

Dikatakan Fahmy, jika kenaikan harga Pertalite menjadi Rp10.000 dan Solar menjadi Rp8.500 dilakukan secara bersamaan sudah pasti menyulut inflasi. Bahkan jika kenaikan inflasi makanan 2% akan mendorong inflasi hingga 5,2% yoy. “Akibatnya jika Pertalite dan Solar dinaikkan kemungkinan inflasi akan menjadi 7,2%. Padahal tahun sebelumnya inflasi kita rendah sekali, hanya 3% dan ini mampu menjaga momentum pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5,4%. Ini luar biasa,” jelas Fahmy.

Sementara itu, inflasi 7,2% akan mengakibatkan kenaikan harga barang dan memperburuk daya beli masyarakat. Menurutnya, beban paling berat akan dirasakan oleh rakyat miskin yang tidak pernah menikmati subsidi karena tidak mempunyai kendaraan bermotor.

Untuk itu, Fahmy menekankan pentingnya pemerintah mengatasi permasalahan BBM bersubsidi secara jangka pendek dan panjang. “Atasi dulu masalah jangka pendek, menggelembungnya subsidi, 60% diselamatkan. Kalau sudah normal mulai diutak-atik, mungkin Pertalite dinaikkan atau Pertamax diturunkan agar disparitas tidak terlalu tinggi. Pada saat itu terjadi migrasi tadi,” katanya.

Untuk jangka panjang pemerintah juga disarankan untuk memangkas disparitas harga BBM bersubsidi dengan non-subsidi. Hal itu dapat dilakukan ketika situasi sudah normal. “Kalau nanti kondisi sudah normal maka barangkali perlu ada pricing policy (kebijakan harga) yang bisa mendekatkan antara Pertalite dan Pertamax. Contoh selisihnya Rp1.500. Sehingga konsumen Pertalite, bahkan sepeda motor bisa migrasi ke Pertamax,” tutur Fahmy.

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto/Foto: Dok Pribadi

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto/Foto: Dok Pribadi

Sebelumnya, dua Menteri koordinator berbeda suara soal rencana pemerintah menaikan harga BBM bersubsidi. Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan menuturkan keputusan kenaikan harga bbm subsidi bakal diumumkan Jokowi minggu ini, tetapi Menko Perekonomian Airlangga Hartarto kemudian menyampaikan belum ada kenaikan harga BBM dalam waktu dekat.

Naik Berkala

Sementara itu, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda mengatakan, jika pemerintah hendak menaikkan harga BBM bersubsidi, sebaiknya dilakukan secara berkala. Hal ini untuk mencegah inflasi tinggi yang kemudian akan berdampak luas di masyarakat maupun bagi pertumbuhan ekonomi. “Apabila opsi menaikkan, kita rasa menaikkan secara gradual lebih tepat daripada naik signifikan,” katanya, Selasa (23/8/2022).

Dalam perhitungannya, jika Pertalite naik ke harga Rp8.000, maka inflasi masih berada di 5,5%, naik ke Rp9.000 inflasi berada di kisaran 6,5%-7% dan Jika langsung ke Rp10.000, inflasi bisa menembus 8%. “Dengan kenaikan harga pertalite, itu pasti inflasi cukup tinggi. Dampaknya tinggi, daya beli menurun, juga terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi dan menciptakan masyarakat miskin baru,” sebut Nailul.

Sejumlah kabar beredar tentang rencana kenaikan harga BBM bersubsidi. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengatakan, BBM bersubsidi tidak akan naik pada Kuartal ke 3 tahun ini.

Menurut Nailul, jika begitu, pemerintah masih punya ‘tambalan’ untuk menambah subsidi BBM. Berdasarkan keterangan Menteri Keuangan, pendapatan dari pajak cukup positif dan realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) per Juni juga tumbuh 35,5%,sehingga itu bisa dibilang APBN kuat. “Tahun ini masih positif PNBP. Kalau pemerintah ingin manfaatin uang dari PNBP dan pajak yang kenaikan positif, bisa untuk menambah subsidi BBM. itu tergantung sekali dengan political will,” kata Nailul.

Selain itu, ada opsi re-alokasi anggaran untuk bisa menambal beban subsidi. Misalnya anggaran yang kurang urgent, seperti food estate, IKN, infrastruktur kereta cepat, yang bisa jadi tambalan,” tegas Nailul. ***

Penulis    :    Iwan Damiri
Editor      :    Kamsari

Print Friendly, PDF & Email

BERITA POPULER

To Top