Nasional

Waka DPD RI : Sistem Bikameral Belum Wujudkan Fungsi Check and Balance di Parlemen

Waka DPD RI : Sistem Bikameral Belum Wujudkan Fungsi Check and Balance di Parlemen

JAKARTA, SUARAINVESTOR.COM – DPD RI akan terus mengupayakan adanya sistem bikameral yang efektif dalam sistem ketatanegaraan. Selama ini sistem ketatanegaraan yang ada masih belum dapat menciptakan sistem parlemen yang mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan pemerataan pembangunan. Kondisi sistem perwakilan saat ini masih cenderung terpusat dan berakibat pada masih adanya kesenjangan di daerah.

Menurut Wakil Ketua DPD RI, Mahyudin sistem bikameral saat ini belum mampu mewujudkan fungsi check and balance dalam sistem parlemen Indonesia. Lahirnya DPD RI yang mewakili wilayah seharusnya berperan sebagai kamar kedua untuk melakukan fungsi check and balances dan mengawal otonomi agar tidak memunculkan kesenjangan di daerah. Namun, dalam prakteknya DPD RI tidak diberi kewenangan legislatif yang memadai sebagai wakil daerah.

“Seharusnya sistem parlemen Indonesia tidak terlalu didominisasi oleh partai politik (parpol) , karena jika demikian bisa memunculkan fenomena oligarki. Ketika sudah memilih sistem bikameral, maka harus dijalankan dengan memaksimalkan peran DPD RI untuk mengatasi kesenjangan di daerah. Namun, faktanya, fungsi DPD dalam sistem bikameral di Indonesia masih sangat lemah,” tegas Wakil Ketua DPD RI Mahyudin di Jakarta, Jumat (27/8/2021).

Karena itu lanjut Mahyudin, dirinya menilai fungsi DPD RI harus dioptimalkan ke depan. Mengingat cita-cita besar bangsa ini adalah membangun parlemen yang kuat dan efektif. Tapi saat ini parlemen yang kuat dan efektif masih jauh dari harapan. Banyak negara besar yang juga melaksanakan sistem parlemen dua kamar, tapi mereka benar-benar menjalankan secara konsisten.

“Kita juga punya dua kamar, tapi faktanya  DPD ini belum diberikan porsi yang seharusnya. Jadi hanya menjadi semacam etalase politik. Itulah yang perlu dipikirkan bagaimana mengoptimalkan fungsi DPD untuk membangun sistem parlemen yang efektif,” tambahnya.

Mahyudin juga menjelaskan, tidak seharusnya kekuatan parlemen hanya didominasi oleh partai politik (parpol) saja. Tapi harus diimbangi dengan kekuatan-kekuatan lain yang menjadi penyeimbang dalam menentukan arah kebijakan negara, misalnya DPD RI yang merupakan perwakilan dari wilayah atau teritorial. Sedangkan DPR sendiri sebagai kumpulan fraksi-fraksi yang notabene adalah mewakili Parpol, karena jika terlalu kuat maka akhirnya yang muncul adalah oligarki.

“Saat kita melakukan amandemen ke 3 terhadap UUD 1945 , ketika itu sebenarnya kita  sudah memilih sistem bikameral, maka harusnya dijalankan dengan memaksimalkan peran DPD RI untuk mengatasi kesenjangan di daerah,” jelas Mahyudin.

Namun, menurut Mahyudin, faktanya, praktik bikameral di Indonesia masih sangat lemah untuk memenuhi hasrat demokrasi.  “Sayang lembaga negara yang bagus, diisi orang-orang yang cerdas, tapi lembaga ini tidak diberdayakan dalam rangka membangun Indonesia dalam masa depan yang lebih baik di masa mendatang,” pungkasnya.

Peneliti Senior LIPI, Siti Zuhro, mengatakan Sistem Bikameral di Indonesia mulanya bertujuan memperkuat kedudukan pemerintahan daerah dan/atau rakyat di daerah dalam proses legislasi di tingkat pusat. Sistem ini bertujuan melindungi daerah yang penduduknya sedikit dari dominasi daerah yang berpenduduk banyak.

Masalahnya dalam praktek, terjadi semacam subordinasi yang dilakukan oleh DPR terhadap DPD, sehingga eksistensi dan kewenangan DPD yang diamanatkan oleh konstitusi seakan-akan tidak dianggap. Implikasi dari minimnya kewenangan DPD tersebut bukan hanya berpengaruh pada tumpulnya power anggota DPD, tapi juga terhadap institusi DPD itu sendiri.

“Betul apa yang dikatakan pak Mahyudin, akhirnya DPD cuma jadi etalase politik bahwa seakan-akan kita sudah melaksanakan sistem bikameral yang punya mekanisme check and balances, padahal tidak,” ungkap Siti Zuhro.

Hal senada diungkapkan oleh pakar hukum tata negara Refly Harun dalam Executife Brief DPD RI. Menurutnya Refly mengatakan, DPD RI merupakan sebuah lembaga yang memiliki mandat besar karena dipilih dan mewakili daerah secara murni, tetapi diberi kewenangan yang kecil.

Seharusnya kata Refly, adanya mandat yang besar, juga harus diimbangi dengan kewenangan yang besar pula. Ia menilai, seharusnya DPD RI diberikan fungsi menentukan dan fungsi persetujuan dalam pembentukan undang-undang. Tapi saat ini kedua fungsi tersebut tidak diberikan kepada DPD RI. Padahal keduanya merupakan fungsi yang krusial sebagai sebuah lembaga parlemen.

“Dalam proses legislasi, peran DPD RI dibatasi hanya sampai tahap pembahasan Rancangan Undang-Undang, itupun DPD RI hanya dianggap sebagai satu fraksi saja, bukan sebagai bicameral function. Demikan juga halnya dengan fungsi pengawasan dan anggaran, dimana dalam prakteknya hanya digantungkan pada DPR RI, seharusnya ada power sharing, ” ungkapnya.

 

Print Friendly, PDF & Email

BERITA POPULER

To Top