Market

Waspadai Utang Bank Plat Merah, DPR: OJK Harus Awasi

Waspadai Utang Bank Plat Merah, DPR: OJK Harus Awasi

JAKARTA, SUARAINVESTOR.COM-Kalangan anggota DPR RI mengingatkan agar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperhatikan kondisi utang bank pelat merah saat ini yang dalam kondisi yang kurang menggembirakan.

DPR mencatat utang sejumlah bank milik BUMN dalam kondisi yang patut di waspadai.

“Berdasarkan data Kementerian BUMN per 3 Desember 2018, beberapa bank plat merah dilaporkan memiliki utang yang fantastis. BRI memiliki utang Rp. 1.008 triliun. Bank Mandiri Rp. 997 triliun, BNI Rp. 660 triliun dan BTN Rp. 249 triliun. Utang perbankan tersebut menjadi penyumbang terbesar utang keseluruhan BUMN yang mencapai Rp. 5.271 triliun,” ungkap Heri Gunawan Anggota Komisi XI DPR RI itu kepada wartawan di Jakarta Jumat (22/11/2019).

Untuk diketahui, ungkap dia, Per 31 Desember 2018, BRI merilis laporan keuangan menyatakan jumlah utang sebesar Rp. 1.111 triliun, dengan Total Simpanan Nasabah sebesar Rp. 944 triliun. Sementara itu total aset mencapai Rp. 1.296 triliun. Lalu, ekuitas sebesar Rp. 185 triliun.

Sementara itu, lanjut Heri, Bank Mandiri juga merilis laporan keuangan Per 31 Desember 2018 menyatakan jumlah utang sebesar Rp. 941 triliun, dengan Total Simpanan Nasabah sebesar Rp. 766 triliun. Sementara itu total aset mencapai Rp. 1.202 triliun. Ekuitas sebesar Rp. 184 triliun.

BNI juga merilis laporan keuangan Per 31 Desember 2018 menyatakan jumlah utang sebesar Rp. 671 triliun, dengan Total Simpanan Nasabah sebesar Rp. 552 triliun . Sementara itu total aset mencapai Rp. 808 triliun. Ekuitas sebesar Rp. 110 triliun.

“Laporan dari Kementerian BUMN dan bank-bank plat merah tentunya harus menjadi perhatian khusus pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK),” ujar Kapoksi Gerindra di Komisi XI itu.

Saat ini, kata dia, Indonesia sedang dihadapkan pada ancaman resesi ekonomi. Dalam kondisi menghadapi krisis, sambung dia, biasanya bermunculan skandal perbankan. Contohnya, pada tahun 1998 muncul skandal BLBI dan 2008 muncul skandal Bank Century.

“Kasus utang bank plat merah patut menimbulkan pertanyaan tentang kinerja pengawasan OJK. Dimana fungsi pengawasan OJK selama ini?,” tandas Anggota Baleg DPR RI itu.

Sebelum terlambat, Heri mengingatkan, OJK harus segera bertindak sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK.

“OJK memiliki kekuasaan yang sangat besar. Mulai dari membuat regulasi, mengawasi, memungut anggaran dan menjatuhkan sanksi. Ruang lingkup OJK ini tidak dimiliki lembaga mana pun termasuk Bank Indonesia, namun loyo dalam bertindak dan cenderung bermain ‘politik’ dalam internalnya sendiri,” sindir Legislator dari dapil Jabar IV itu.

Heri mewanti-wanti agar sejarah kelam krisis ekonomi 1998 tidak boleh terulang kembali.

“Saat itu kondisi perbankan dipermukaan terlihat baik-baik saja. Pemerintah selalu meyakinkan masyarakat bahwa perbankan dalam keadaan sehat. Namun nyatanya kondisi yang diklaim baik-baik saja tanpa pengawasan yang konsisten dan berintegritas akan membawa Indonesia masuk ke dalam krisis,” ungkapnya.

Agar skandal perbankan tersebut tidak terulang kembali, saran dia, KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) yang terdiri dari Menteri Keuangan, Gubernur BI, Ketua Dewan Komisioner OJK dan Ketua Dewan Komisioner LPS, sudah seharusnya melakukan tindakan-tindakan yang dipandang perlu sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No.9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan.

“Perbankan adalah sektor yang sangat rentan terhadap terpaan krisis. Bila masyarakat sudah tidak percaya maka rush bisa terjadi kapan saja. Struktur liabilitas ketiga bank plat merah di atas didominasi oleh dana nasabah. Kepercayaan nasabah harus lebih diutamakan,” tegasnya.

Diingatkannya, Kasus yang menimpa AJB Bumiputera, Asuransi Jiwasraya dan Bank Muamalat harus menjadi pembelajaran.

“Ketiga kasus di atas bisa dikatakan lepas dari radar pantauan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kasusnya tiba-tiba mencuat. Hingga sekarang masih berkutat dan belum ada formula untuk menyembuhkannya, ditengah lemahnya koordinasi sinergi kebijakan dan administrasi di otoritas itu sendiri,” terang Heri.

Untuk diketahui, ungkap dia, AJB Bumiputera dilaporkan mengalami likuiditas yang sempit. Per Oktober 2019, pendapatan premi mencapai Rp. 2,6 triliun, sedangkan jumlah klaim mencapai sekitar Rp. 2,4 triliun.

“Ironisnya, hingga kini AJB Bumiputera belum memiliki formasi direksi. Asuransi Jiwasraya juga tertimpa masalah yang lebih pelik. Masalah dimulai saat perusahaan tidak sanggup membayar polis JS Saving Plan,” beber dia.

Dalam Rapat Dengar Pendapat di Komisi XI DPR-RI, ungkap Heri, terkuak modus investasi serampangan hingga aset investasi menjadi tidak likuid.

“Neraca Jiwasraya pada pada kuartal III 2019 terlihat jeblok. Jumlah aset hanya Rp. 25,68 triliun, sementara total kewajiban mencapai Rp. 49,6 triliun. Kesimpulannya, ekuitas Jiwasraya negatif Rp. 23,92 triliun. Keadaan makin memburuk karena adanya potensi penurunan aset (impairment) sebesar Rp. 2,89 triliun. Dengan kondisi seperti itu, asuransi Jiwasraya membutuhkan dana Rp. 32,89 triliun agar rasio solvabilitas atau risk based capital (RBC) sesuai ketentuan yakni 120%,” ungkapnya lagi.

Selain itu, Heri menambahkan, Bank Muamalat yang tadinya terlihat tidak bermasalah tiba-tiba muncul dengan permasalahan baru. Kinerja Bank Muamalat pada semester I 2019 dilaporkan mulai memburuk. Laba bersih turun 95% menjadi Rp. 5,08 miliar.

Pembiayaan Bank Muamalat melambat 10,7% dari Rp. 17,68 triliun turun menjadi Rp. 15,7 triliun. Aset juga melorot dari 55,18 triliun menjadi Rp. 54,57 triliun. Sementara rasio non performing financing (NPF) gross membengkak ke 5,41% dari 1,65% pada Juni 2018. NPF nett naik dari 0,88% menjadi 4,53%.

“Sekarang, kita tunggu saja kontribusi dan perubahan apakah yang mampu diberikan OJK ke depannya nanti atau akankah OJK dilebur kembali dengan Bank Indonesia.
Publik menunggu kerja kongkrit dari otoritas agar lembaga keuangan yang mengalami krisis bisa segera dipulihkan,” pungkasnya.

Print Friendly, PDF & Email

BERITA POPULER

To Top