JAKARTA – Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Firman Subagyo menegaskan jika posisi revisi UU MD3 (MPR, DPR, DPD dan DPRD) khusus terkait dengan penambahan 11 kursi MPR RI dan 10 kursi DPR RI masih macet alias deadlock. Saat ini masih dilakukan lobi-lobi antar fraksi dan kelompok DPD RI, dan baru pada Kamis (8/6/2017) akan ada laporan Kapoksi dari hasil lobi-lobi tersebut.
“Usulan penambahan kursi MPR dan DPR RI itu bermula dari FPDIP sebagai partai pemenang pemilu 2014. Tapi, karena politik di DPR itu dinamis kemudian muncul Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), yang memilih pimpinan melalui sistem paket, maka usulan itu harus melalui revisi UU MD3,” tegas Firman Subagyo dalam Farum Legislasi dengan tema ‘RUU MD3, Urgensi Penambahan 11 Pimpinan MPR’ bersama Sekretaris Fraksi Hanura DPR RI, Dadang Rusdiana, dan pengamat politik Lembaga Analisis Politik Indonesia (L-API), Maksimus Ramses Llalongkoe di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (6/6/2017).
Pada awalnya usulan itu hanya nambah 1 kursi MPR dan 1 kursi DPR RI. Semua fraksi mendukung dan keputusan itu sudah disampaikan ke Presiden RI, dan Presiden RI menyetujui dengan mengeluarkan surat keputusan. Tapi, berkembang lagi muncul usulan tambahan masing-masing 2 kursi, sehingga menjadi 7 kursi MPR/DPR RI.
Lalu Baleg meminta agar usulan itu tertulis agar bisa disampaikan ke presiden. Sebab, pemerintah harus mengeluarkan keputusan baru untuk mengganti surat keputusan sebelumnya. “Kalau tidak, maka usulan yang 11 kursi ini akan cacat hukum. Namun, posisi revisi UU MD3 itu saat ini deadlock. Hasil akhir, tunggu laporan Kapoksi pada Kamis mendatang,” ujarnya.
Dadang Rusdiana mengakui jika UUMD3 sejak awal sudah bermasalah. Dari komposisi pimpinan MPR/DPR RI itu sudah anomali karena menggunakan sistem paket. Bukan berdasarkan pemenang pemilu. “Aneh dan tidak adil. Sehingga munculnya KMP-KIH itu tidak produktif,” kata politisi Hanura ini.
Karena itu kata Rusdiana, masalah penambahan kursi MPR/DPR ini bukan saja masalah teknis, tapi juga politik. Meski semula kemunculannya berawal untuk menghormati FPDIP sebagai partai pemenang pemilu 2014. Tapi, revisi UU MD3 ini tidak sederhana. Sedangkan kalau berdasarkan suara terbanyak pemilu, maka harus kocok ulang.
DPR sebagai institusi negara tentu harus akuntabel dimana kalau keputusannya salah akan makin membuat buruk citra DPR, makanya revisi itu perlu pertimbangan mendalam. “Jangan terlalu jauh, harus sesuai dengan harapan publik. Kalau tidak, DPR akan repot sendiri dengan opini publik di tengah kinerja DPR yang belum optimal ini. Jadi, kita harus responsif terhadap aspirasi dan kebutuhan publik,” pungkasnya.