JAKARTA, SUARAINVESTOR.COM– Ketika publik ramai-ramai menyoroti tingkah polah perilaku para pejabat pajak, mulai dari gaya hidup mewah hingga soal kepemilikan harta kekayaan yang dianggap tak wajar, Komisi XI DPR RI selaku mitra kerja Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tak sedikit pun bergeming menangkap keresahan yang tengah terjadi di tengah publik.
Kalaupun ada pernyataan, sifatnya individual atau hanya masing-masing anggota Komisi XI DPR RI tertentu saja. Secara institusi atau kelembagaan, Komisi XI DPR belum bersikap akan fenomena pegawai pajak yang tengah jadi sasaran kritik tajam masyarakat.
Menanggapi hal itu, Analis Kebijakan Publik, Trubus Rahardiansyah menilai, sikap diam Komisi XI DPR terkait hedonisme para pegawai pajak lebih dikarenakan adanya kesamaan perilaku. “Anggota DPR juga kebanyakan hedon. Jadi tidak mungkin mereka kritik pegawai DJP yang sama hedonnya. Sama saja memercik muka sendiri,” ungkap Akademisi dari Universitas Trisakti itu kepada suarainvestor.com, Senin (27/02/2023).
Trubus mengatakan, riuhnya publik akan gaya hidup para pegawai pajak yang dianggap mewah tak terlepas dari adanya gap secara ekonomi yang tumbuh di tengah masyarakat itu sendiri. “Ketimpangan ekonomi yang berlarut-larut menimbulkan kecemburuan sosial yang cukup serius. Jadi outputnya pun dari dulu hingga sekarang soal harta kekayaan ini selalu dipertentangkan oleh masyarakat kita,” jelas Trubus yang juga Ketua Umum Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia (AAKI) periode 2023-2028 itu.
Sebenarnya, kata Trubus, gaya hidup mewah akan terlihat aneh bahkan dianggap meludahi realitas (mayoritas ekonomi masyarakat di bawah rata-rata atau perkapita masih rendah) karena tidak meratanya distribusi ekonomi. “Distribusi ekonomi jadi problem serius. Bagaimana simpul-simpul ekonomi hanya dikuasai segelintir orang atau kelompok saja selama ini. Ini merupakan ekses atau akumulasi yang menyebabkan publik suaranya sumbang ketika melihat gaya hidup hedon para pejabat negara termasuk pegawai pajak,” ujarnya.
Menurutnya, konstitusi tidak secara eksplisit melarang rakyatnya untuk memiliki harta kekayaan lebih. “Tidak ada istilah rakyat kaya dan miskin kalau merujuk konstitusi kita. Definisi rakyat yang tertuang dalam konstitusi sifatnya general tidak spesifik merujuk ke soal kepemilikan materi,” paparnya.
Disarankannya, agar fenomena yang tengah menggejala di kalangan masyarakat saat ini soal gaya hidup hedon tidak jadi konsumsi berlebihan sebaiknya pemerintah merumuskan satu formulasi kebijakan yang berbasis pada nilai-nilai Pancasila. “Negara harus buat rumusan kebijakan yang mengacu pada nilai-nilai Pancasila soal kehidupan sosial masyarakat. Misalnya, pemerintah atau negara membuat kebijakan di mana adanya pembatasan atau pengendalian soal kepemilikan harta kekayaan para pejabat negara. Intinya pengendalian sifatnya harus didasarkan pada nilai-nilai etis yang tumbuh di masyarakat pada umumnya,” pungkasnya.***
Penulis : Iwan Damiri
Editor : Chandra