Opini

Problematika KBM Pondok Pesantren Saat Pamdemi Covid-19

Problematika KBM Pondok Pesantren Saat Pamdemi Covid-19

Problematika KBM Pondok Pesantren Saat Pamdemi Vovid-19

Penulis: Mabroer MS (Aktifis Nahdliyyin)

Virus Corona mulai dipastikan menular di Indonesia sejak 2 Maret silam dengan ditemukannya 2 warga Depok, Jawa Barat yang positif terjangkit virus. Mungkin sejak itulah, Pandemi Covid-19 mulai gentayangan menghantui banyak orang, tak terkecuali para pejabat di berbagai level di NKRI ini. Puncaknya adalah pelaksanaan PSBB pada April silam sebagai upaya maksimal untuk memotong mata rantai penyebaran virus. Bahkan jutaan orang rela memendam hasrat Mudik Lebaran karena dilarang pemerintah agar rantai penyebaran Corona tak makin meluas.

Usai kehilangan kemeriahan lebaran, kini jutaan orang mulai kebingungan karena tak kurang dari 5 juta anak-anak mereka tak bisa segera balik ke Pesantren. Di kalangan dunia pesantren, bagian penting dari KBM (kegiatan belajar mengajar) bagi para santri bukan sekedar transfer ilmu pengetahuan, namun juga penanaman nilai-nilai kehidupan yang bersendikan ‘ahlaqul karimah’ (perilaku terpuji).

Untuk ilmu, mungkin bisa dilakukan secara daring/online, tapi tidak demikian halnya dengan pembentukan karakter (character building) karena butuh keteladanan dan tatapan sejuk para Kiai.

Secara normatif, KBM di pesantren tak jauh beda dengan kegiatan serupa di sekolah biasa/non pesantren. Ada kehadiran guru di kelas, ada alat peraga pendidikan, serta kelengkapan KBM lainnya. Yang membedakan, para santri ditempa menjadi manusia sosial yang tangguh dan punya kepekaan serta tanggungjawab melalui berbagai kebersamaan. Mulai dari tidur, mandi, belajar bersama dan makan/minum juga bersama di dalam kompleks Pesantren.

Oleh karena itu, jika para santri harus segera balik maka harus dipersiapkan berbagai kebutuhan sesuai protokol kesehatan Satgas Covid-19. Namun, hal itu juga tak mudah, khususnya dalam hal ”physical distancing’. Pada galibnya, kapasitas infrastruktur yang dimiliki pesantren tidak memungkinkan menerapkan kebijakan tersebut karena dalam satu kamar tidur, misalnya, bisa ditempati lebih dari 10-15 anak dengan posisi saling berhimpitan.

Belum lagi ruangan tempat makan, mandi, toilet, ruang kelas maupun yang lain. Bahkan –mungkin– ada juga pola makan di pesantren tertentu yang masih merawat tradisi makan bersama dalam satu wadah/’nampan’.

Jika situasi Pandemi ini tidak segera membaik, Pesantren juga harus menghadapi persoalan lain yang tidak kalah emergency-nya yakni sistem dan tata kelola pembelajaran online. Selama ini, bagi sebagian besar pesantren memberikan pembatasan sangat ketat atau bahkan larangan memegang gadget. Kenapa?

Pesantren melihat dari sisi negatif yang banyak ditimbulkan dari perangkat IT canggih tersebut. Bisa dibayangkan, bagaimana mungkin tiba-tiba mereka diminta menjalankan sistem KBM secara online yang mayoritas (95,4% ) pake HP. Tentu banyak kendala yang dihadapi, khususnya para guru dan pengasuh pesantren karena model pembelajaran daring masih menjadi benda asing sama sekali bagi mereka.

Dari perspektif orang tua, banyak dari mereka yang tidak siap menghadapi tugas baru sebagai guru pengajar sekaligus guru pendamping bagi anak-anak mereka sendiri. Terutama ibu-ibu yang selama ini sudah sibuk dengan pekerjaan rumah, kini masih ditambah lagi tugas baru sebagai guru (33%) dibandingkan ‘kaum bapak’. Selama ini, mayoritas orang tua para santri lebih banyak menghabiskan waktu dengan kegiatan mencari nafkah termasuk beaya ‘mondok’ anak-anaknya.

Namun, semua berubah drastis karena Pandemi Corona telah membalikkan pola kehidupan 180%. Perubahan itu -tentu- menimbulkan banyak persoalan dan butuh waktu untuk menyesuaikan, bahkan terkadang acapkali menimbulkan ‘rasa putus asa’. Banyak hal yang bisa diurai jadi sebab, tapi ‘ending”nya adalah tak terpenuhinya tugas mereka sebagai guru, pengasuh bahkan pendamping KBM bagi anak-anaknya sendiri. Belum lagi problem ekonomi, seperti mandegnya sumber penghidupan karena stagnasi ekonomi sampai PHK atau dirumahkan tanpa gaji. Belum lagi minimnya ilmu pengetahuan yang dimiliki sebagian orang tua terkait dengan mata pelajaran pesantren yang jadi tugas anak-anak mereka.

Dari sisi santri, psikologi mereka sewaktu berada di rumah adalah liburan alias lepas dari semua tanggungjawab KBM karena kejenuhan yang mereka alami selama menjalani rutinitas yang sangat padat di pesantren. Yang paling dominan, mereka gagal fokus karena berbagai pernak-pernik kehidupan di rumah yang mengganggu konsentrasi belajar.

Oleh karena itu, dari survei KPAI ditemukan bahwa 73,2% siswa mengaku amat terbebani tugas-tugas sekolah yg berjibun, tanpa ada interaksi dengan guru. Yang lebih fatal lagi, mayoritas siswa (53,6%) tak punya WiFi/paket internet. Selain faktor jaringan internet, minimnya pendamping yang memadai di rumah, juga rendahnya etos belajar karena lingkungan belajar mereka bukan suasana pembelajaran sebagaimana di kelas. Bahkan dari survei Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI) didapatkan temuan, hanya 28% anak-anak yang bisa mengikuti sistem pembelajaran jarak jauh/online.

Problem lain yang dihadapi Pesantren adalah keanekaragaman latar belakang daerah asal santri. Tak sedikit dari mereka yang berasal dari luar kabupaten bhingga luar provinsi sehingga makin menyulitkan proses sterilisasi berbasis Zona (Merah, Kuning, Hijau). Ada kemungkinan bahwa lokasi pondok pesantren itu berada di zona hijau, tapi sebagian besar santrinya berasal dari zona merah. Hal ini tentu agak berbeda dengan sekolah non pesantren yang mayoritas siswanya berasal dari sekitar sekolah bersangkutan.

Jadi, pembukaan sistem KBM secara fisik hanya berbasis Zona itu juga belum bisa menjadi solusi final atas problematika bagi sebagian Pesantren. Kendati begitu, ada juga Pesantren yang menyiasati kondisi Pandemi itu dengan pelonggaran masa pembelaran offline yakni ‘balik pondok’ secara bergelombang, namun sistem ini juga masih tetap menyisakan banyak persoalan.

Oleh karena itu, diharapkan agar berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah itu tetap memperhatikan keunikan yang ada di lingkungan Pondok Pesantren. Kendati jumlah para santri itu hanya 5 juta lebih dari total 45 juta pelajar di Indonesia, namun posisi dan harapan masyarkat kepada mereka cukup tinggi sehingga butuh atensi lebih komprehensif. Dengan kata lain, pemerintah tidak bisa melakukan generalisasi kebijakan terhadap Pesantren.

Yang diharapkan, jangan sampai kebijakan pemerintah justru melahirkan diskriminasi baru di bidang pendidikan Pesantren. Salah satu kunci utama untuk mengatasi problemtika pendidikan di Pesantren adalah komunikasi dan koordinasi yang intensif dari para pemangku kepentingan, termasuk hamonisasi hubungan vertikal-horisontal, demikian juga sebaliknya.

Print Friendly, PDF & Email

BERITA POPULER

To Top