Market

Persempit Penyalahgunaan, Najib: Perlu Revisi Kebijakan Distribusi Energi Bersubsidi

Persempit Penyalahgunaan, Najib: Perlu Revisi Kebijakan Distribusi Energi Bersubsidi

JAKARTA, SUARAINVESTOR.COM-Kalangan DPR mendesak pemerintah agar segera merevisi kebijakan distribusi energi bersubsidi. Perlu strategi baru untuk mendongkrak agar jumlah orang miskin penerima subsidi energi tepat sasaran.

“Misalnya, ke depan subsidi tidak lagi diberikan dalam bentuk produk, akan tetapi langsung diberikan kepada penerima,” kata Anggota Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI Ahmad Najib Qodratullah dalam konsultasi yang dipimpin Ketua BAKN, Wahyu Sanjaya, Wakil Ketua BAKN, Hendrawan Supratikno, Bachrudin Nasori, Sugeng Suparwoto dan Mukhamad Misbakhum serta Ketua BPK Agung Firman Sampurna beserta para Wakil Ketua BPK, di Jakarta, Selasa, (9/2/2021).

Dengan mengubah strategi kebijakan tersebut, lanjut Najib, maka tata kelola energi bersubsidi bisa menjadi lebih efektif dan bisa lebih baik lagi. “Dengan demikian, adanya revisi diharapkan tepat sasaran. Ke depan tidak akan ada lagi celah untuk orang-orang yang tidak berhak mendapatkan subsidi energi,” tegasnya.

Persempit Penyalahgunaan, Najib: Perlu Revisi Kebijakan Distribusi Energi Bersubsidi

Menurut Najib, revisi kebijakan penyaluran subsidi energi sangat mendesak, karena jumlah orang miskin akibat pandemi Covid-19 bertambah banyak. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Maret 2020 terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin sebanyak 1,63 juta orang dibandingkan periode September 2019.

Dengan demikian, jumlah penduduk miskin RI saat ini tercatat sebanyak 26,42 juta orang. “Untuk itu menurut saya diperlukan data secara akurat, komprehensif dalam menyampaikan subsidi energi,” ucap Ketua DPP PAN.

Legislator dari Dapil Jabar Jabar II ini memberikan contoh, bahwasanya saat ini di lapangan mudah untuk mendapatkan gas elpiji 3 kilogram. Sehingga dengan kondisi demikian, pemerintah sebagai penyalur subsidi energi tidak tahu lagi apakah orang tersebut berhak menerima atau tidak. “Sehingga tidak ada lagi masyarakat yang tidak berhak menerima mendapatkan subsidi energi, melainkan untuk masyarakat yang berhak yang dapat diberikan subsidi secara adil,” imbuhnya.

Dari catatan APBN 2020, besaran subsidi LPG 3 kilogram (kg) senilai Rp50,6 triliun. Nilai subsidi yang ditetapkan dalam APBN 2020 tersebut memang sedikit menurun dibandingkan APBN 2019 lalu. Penurunan nilai subsidi adalah sebesar 12,8 persen. Tahun 2019 nilai subsidi LPG 3 kg mencapai Rp58 triliun.

Persempit Penyalahgunaan, Najib: Perlu Revisi Kebijakan Distribusi Energi Bersubsidi

Pada kesempatan tersebut, Ketua BPK menjelaskan bahwa subsidi energi merupakan nilai yang sangat signifikan atau material dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara(APBN) dan pertanggungjawabannya dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP).

“Selama 2015-2020 APBN dan LKPP secara umum mengalami penurunan sangat signifikan dari tahun 2014. Dalam tahun 2017-2019, anggaran belanja subsidi energi relatif mengalami kenaikan kembali karena kenaikan volume konsumsi LPG dan kebijakan penyesuaian subsidi tetap solar tahun 2018,” ungkap Ketua BPK.

Lebih lanjut, Ketua BPK memaparkan hasil pemeriksaan BPK atas LKPP terkait subsidi energi, pada pemeriksaan tersebut, BPK mengungkapkan beberapa temuan terkait dengan subsidi, di antaranya anggaran subsidi yang fleksibel atau dapat melebihi anggaran yang ditetapkan dan masalah penghitungan beban, kewajiban, serta tagihan subsidi antara Pemerintah dan badan usaha operator.

Selain itu, sesuai dengan Pasal 11 huruf a. UU No. 15 Tahun 2006, BPK menyampaikan pendapat kepada Pemerintah. Pada bulan Desember 2019, BPK telah menyampaikan pendapatnya mengenai Penetapan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Bersubsidi dan Tidak Bersubsidi serta Pertanggungjawabannya oleh Pemerintah, di antaranya menyusun perangkat aturan yang jelas terkait dengan Jenis Bahan Bakar Tertentu (JBT) Minyak Solar dan Menyusun kebijakan khusus terkait dengan Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) Premium dengan memperhatikan UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, antara lain dengan membuat bentuk-bentuk alternatif pemberian kompensasi termasuk perhitungan biaya dan HJE BBM yang diketahui lebih awal selama tahun berjalan dan berdampak terhadap kekurangan penerimaan Badan Usaha.

Usai dibuka oleh Ketua BPK, kegiatan dilanjutkan dengan sesi diskusi dan paparan oleh para Anggota BPK. Selain itu, BPK juga memberikan kesempatan kepada BAKN untuk memberikan masukan dan tanggapannya terkait hasil pemeriksaan BPK atas Subsidi Energi tersebut. ***

 

 

Print Friendly, PDF & Email

BERITA POPULER

To Top