JAKARTA, SUARAINVESTOR.COM- Salah satu hambatan pembangunan di daerah yang muncul adalah daerah tidak memiliki posisi tawar kuat terhadap pemerintah pusat.
Ketidakjelasan formulasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang mengacu pada sistem keuangan pusat membuat pendekatan lobi masih mendominasi besar kecilnya porsi daerah penerima Dana Alokasi Khusus (DAK).
Hal itu terungkap dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI dengan Asosiasi DPRD Provinsi Seluruh Indonesia (ADPSI), Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (ADEKSI) dan Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI) secara virtual, Kamis (17/6/2021).
Ahmad Najib Nasrullah dari DPRD Kabupaten Bandung Barat mengungkapkan ada kerancuan dalam pengelolaan keuangan daerah yang dimulai dari ketidakjelasan formulasi antara sistem keuangan pusat dengan sistem keuangan daerah.
Akibatnya terjadi kesenjangan komunikasi yang menyebabkan ketimpangan antara pusat dengan daerah. Akibatnya, pendekatan lobi masih mendominasi dalam penerimaan DAK.
“Yang pandai lobi banyak uangnya. Lalu apa sistem yang dianut? Apakah sistem lobi? Maaf itu yang banyak terjadi. Saya yang mewakili Jawa Barat merasakan ada ketimpangan,” ungkap Najib.
Ia mengusulkan agar DPR RI dapat merevisi UU terkait persoalan ini dengan fokus penekanan merevisi pasal-pasal dari UU yang dianggap merugikan daerah.
“Jadi kalau direvisi, seperti apa formulasinya. Merevisi hal-hal yang dianggap merugikan teman-teman DPRD di daerah,” saran Najib.
Sementara itu, Anggota BAKN DPR RI, Mukhamad Misbakhun mengajak seluruh wakil rakyat di daerah melalui ADPSI, ADEKSI dan ADKASI menyatukan langkah dan merapatkan barisan untuk bersatu emnggalang kekuatan.
“Partai terbesar di republik Indonesia itu bukan PDIP, tetapi birokrat. Kalau lewat pemilu memang yang menang PDIP tetapi yang menguasai mereka (birokrat-red). Dan menguasai anggaran terbesar ya…mereka itu,” kata Misbakhun.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar ini mengaku DPR RI selaku wakil rakyat di tingkat pusatpun seolah tidak berdaya ketika berbicara mengenai alokasi anggaran dengan Kementerian Keuangan di tingkat pusat.
“Kita sama-sama politisi yang berhadapan dengan para birokrat pengambil keputusan yang porsi dan kue kenikmatannya nggak mau dibagi,” ucap Misbakhun.
Ia mencontoh, seperti alokasi anggaran DPR RI yang dinilainya sangat kecil dan timpang apabila dibandingkan dengan alokasi anggaran untuk kementerian dan jumlah APBN.
“DPR RI dikasih berapa sih? DPRD RI cuma dikasih Rp 4 triliun. Kalau digabung sama MPR dan DPD cuma Rp 9 triliun dari Rp 2.725 trilun APBN,” katanya.
Terkadang, kata Misbakhun, seringkali usulan anggaran yang diajukan DPR RI melalui BURT baru dipenuhi apabila DPR RI menyetujui keinginan dari Kementerian Keuangan.
“Baru mau dipenuhi pengajuan usulan kita kalau APBN nya dipenuhi. Asumsi-asumsinya kita setujui. Kalau setelah itu nggak mau diajak rapat. Susah. Nah kita yang mengatasnamakan wakil rakyat, bagaimana menggalang kekuatan pada sebuah perpesktif yang sama,” ajak Misbakhun.(dito)
![](https://www.suarainvestor.com/wp-content/uploads/2020/03/suara-investor_Logo.png)