JAKARTA, SUARAINVESTOR.COM-Sistem keuangan berkelanjutan dinilai sangat penting, untuk menopang berbagai pembangunan infrastruktur dan proyek-proyek ramah lingkungan di Indonesia. Bahkan sektor infrastruktur dapat berfungsi sebagai fondasi utama dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya yang berkaitan dengan infrastruktur ramah lingkungan, akses energi bersih, serta pengelolaan air dan sanitasi. “Infrastruktur memainkan peran yang sangat penting untuk menciptakan masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan bagi Indonesia,” kata Ketua Asosiasi Analis Efek Indonesia (AAEI) David Sutyanto di Jakarta, Kamis, (28/11/2024).
Lebih jauh David menjelaskan bahwa berbagai faktor risiko global yang menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia untuk menerapkan ekonomi hijau. Tensi geopolitik yang mulai memanas, seperti Konflik Timur Tengah, ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan Rusia (perang di Ukrania), frekuensi perdagangan AS dan China, serta dinamika moneter dan global fund bagian dari tantangan tersebut.
Dalam hal dinamika moneter dan global fund, Ia menjelaskan terjadinya pelonggaran moneter global, kemajuan disinflasi global, masih tingginya suku bunga acuan global, serta tekanan fiskal global akan terus berlanjut. “Kami memperkirakan ekonomi pada tahun 2025 stagnan, ditandai adanya berbagai gejolak. Seperti adanya tekanan inflasi dan fiskal di AS, krisis properti di China, serta adanya permintaan domestik yang lemah di kawasan Eropa,” ujar David.
Sementara itu, Pengamat pasar modal Budi Frensidy menyampaikan bahwa Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) merupakan cetak biru untuk mencapai masa depan yang lebih baik dan keberlanjutan. “SDG ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dan semua negara diharapkan untuk berpartisipasi mewujudkannya,” ujar Budi.
Ia menyebutkan setidaknya perusahaan korporasi dituntut untuk memperhatikan, menjalankan dan mewujudkan konsep bisnis yang memperhatikan prinsip 3P yaitu Profit, People dan Planet. Indonesia yang memiliki hutan tropis terbesar ketiga di dunia seluas 125 juta hektar (ha), berpotensi besar memimpin pasar karbon dengan kapasitas 25 miliar ton karbon. Apabila pemerintah bisa menjual dengan harga 5 dolar AS, Ia menjelaskan potensi pendapatan Indonesia mencapai 113 miliar dolar AS atau setara Rp8.400 triliun.
Selain melalui hutan, Ia melanjutkan Indonesia juga memiliki potensi penyerapan karbon dari ekonomi biru/lautan yang 4 sampai 5 kali lebih tinggi dari hutan angin segar untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen. “Kriteria ketiga dalam berinvestasi awalnya adalah mengejar skewness positif. Kemudian ada likuiditas seiring berkembangnya market microstructure. Terakhir, dalam 2-3 tahun terakhir, aspek ketiga yang dipersyaratkan investor terutama investor institusi adalah sustainability,” imbuh Budi.***
Penulis : Budiana
Editor : Budiana