JAKARTA, Pada awal tahun 2017 masyarakat kembali mendapat kado pahit dari pemerintah. Yaitu, pencabutan subsidi listrik terhadap 18,7 juta pelanggan rumah tangga golongan 900 VA, serta kenaikan tarif pengurusan berkas-berkas kendaraan bermotor (STNK dan BPKB) yang mencapai ratusan persen. Langkah itu justru akan membebani masyarakat di tahun 2017 ini. Dan, itu sebagai bukti jika pemerintah lebih suka mengorbankan masyarakat demi menyelamatkan kepentingannya sendiri.
“Dalam dua tahun terakhir ini pemerintah terus-menerus menaikan tarif listrik tiap memasuki awal tahun. Akhir tahun 2015, misalnya, pemerintah memaksa para pelanggan rumah tangga golongan 900 VA untuk pindah menjadi golongan 1300 VA. Kini, giliran tarif golongan 900 VA mau dinaikkan juga, tak tanggung-tanggung, hingga 123 persen, atau lebih dari dua kali lipat. Meski dilakukan secara bertahap hingga Mei 2017 nanti, kenaikan itu akan makin menekan daya beli masyarakat,” tegas Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon pada wartawan di Jakarta, Rabu (4/1/2017).
Demikian pula dengan kenaikan tarif jasa penerbitan surat-surat kendaraan bermotor yang kenaikannya berkisar antara 100 persen hingga 233 persen, atau lebih dari dua hingga tiga kali lipat. Itu kata Waketum Gerindra itu, angka kenaikan yang fantastis. Dia khawatir pemerintah melihat soal-soal itu hanya dari sisi penerimaan negara semata, tapi tidak memperhitungkan dampak ekonominya bagi kehidupan masyarakat.
“Kita paham jika realisasi pendapatan negara terus-menerus turun. Kalau kita lihat, realisasi pendapatan negara dari penerimaan perpajakan hanya Rp 1.283,6 triliun pada 2016, atau sekitar 83,4 persen dari target APBN-P 2016. Meski persentasenya lebih besar dari realisasi penerimaan perpajakan pada 2015, yang mencapai 81,5 persen, namun jangan lupa, realisasi itu didukung oleh kebijakan extraordinary yaitu tax amnesty. Dalam perhitungan saya, jika tidak menyertakan hasil tax amnesty hingga periode kedua, realisasi penerimaan negara dari sektor perpajakan tahun 2016 hanya ada di kisaran 73 persen dari target yang dipatok pemerintah sendiri. Ini tentu saja merupakan lampu merah bagi pemerintah,” jelas Fadli Zon.
Namun menurut Fadli, alih-alih mengkoreksi struktur APBN, terutama mengkoreksi berbagai proyek infrastruktur yang tidak perlu, pemerintah malah berusaha mempertahankan struktur anggaran dengan menggenjot penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan melalui penghapusan berbagai subsidi untuk rakyat tadi. Ujungnya, daya beli masyarakat akan semakin tertekan, yang pada akhirnya akan menghambat pertumbuhan ekonomi.
“Jangan lupa, tergerusnya daya beli masyarakat merupakan salah satu dari tiga faktor internal yang telah memperlemah perekonomian kita, di luar faktor perlambatan ekonomi dunia dan dicabutnya berbagai subsidi untuk rakyat, terutama subsidi energi, seperti BBM, gas, dan listrik. Itu yang telah menyebabkan konsumsi sektor rumah tangga hanya tumbuh 5,05 persen. Padahal konsumsi rumah tangga ini merupakan kontributor terbesar bagi pertumbuhan ekonomi,” tambah Fadli.
Dengan demikian kata Fadli, pemerintah mestinya mendahulukan untuk menyelamatkan perekonomian rakyat sebelum menyelamatkan keuangan negara. Dia mengibaratkan sebuah rumah tangga petani, untuk memenuhi kebutuhan protein secara berkesinambungan. Misalnya, petani pertama-tama haruslah memelihara dan membesarkan ternaknya terlebih dahulu agar bisa bertelor ataupun berkembang biak, ketimbang memotong semua ternaknya terus-menerus setiap hari.
“Maka bisa tidak makan mereka nantinya. Jadi, pemerintah seharusnya berkepentingan untuk menyelamatkan daya beli masyarakat dulu, agar perekonomian bisa tumbuh, baru kemudian berusaha memetik hasilnya. Tapi, kalau masyarakat terus-menerus diberi kado pahit, jangan berharap perekonomian kita akan membaik, dan keuangan negara bisa sehat,” pungkasnya.