JAKARTA, SUARAINVESTOR.COM—Pakar Hukum Tata Negara Jimly Assiddiqie mengusulkan agar pada pemilu 2029 hanya calon presiden yang dipilih langsung, sedangkan calon wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) guna mengurangi politik transaksional yang terjadi dalam sistem pemilu terbuka.
Menurutnya, pemilihan presiden yang bukan dalam bentuk pasangan dengan calon wakil presiden akan membuat posisi wakil presiden nantinya lebih kuat dan melengkapi tugas-tugas kepresidenan. Selama ini fungsi wakil presiden terkesan tidak menjadi penting karena dihasilkam dari negosiasi politik antar partai koalisi. “Biarlah presiden saja dipilih langsung oleh rakyat, tidak usah dalam pasangan, wakilnya dipilih oleh MPR,” ujar Jimly dalam diskusi Empat Pilar Biro Hubungan Masyarakat dan Sistem Informasi Sekretariat Jenderal MPR menggelar diskusi Empat Pilar dengan tema “Putusan MK Dengan Sistem Pemilu Terbuka Memperkuat NKRI”.
Diskusi itu menampilkan narasumber Anggota MPR sekaligus pakar Hukum Tata Negara Prof DR Jimly Assiddiqie, politisi PKB Saiful Huda serta Praktisi Media John Andhi Oktaveri dari media berlangsung di Gedung Nusantara III Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu (21/6/2023).
Menurut Jimly, dalam sistem pemilu yang dia usulkan itu, presiden diatur untuk mengusulkan dua calon wakil presiden. Para cawapres itu kemudian dipilih oleh MPR sebelum ditetapkan. “Apa mamfaatnya? Wakil Presiden itu akan mempunyai posisi yang penting, menkoordinasi partai koalisi karena dia didukung oleh koalisi partai,” ujarnya.
Senator itu menambahkan wakil presiden dalam konteks itu tetap jadi pembantu presiden dan patuh pada presiden. “Jadi fungsi wakil presiden tetap, tapi di pilih oleh MPR,” ujar Jimly.
Dia mengklaim usulannya itu juga bertujuan untuk memperkuat kewenangan MPR di masa depan. Dia mengatakan sekarang dinamika capres-cawapres sangat transaksional dan semua pimpinan partai kasak-kusuk bertransaksi.
Dia mengaku cara itu tidak sehat untuk kualitas kepemimpinan nasional ke depan. Sementara itu, Saiful Huda mengaku sangat menyesali terlambatnya putusan MK terkait sistem pemilu terbuka yang baru diumumkan 15 Juni lalu.
Menurutnya, semestinya MK bisa lebih cepat memutusnya dan tidak harus berlama-lama. Pasalnya, judicial review telah lama diajukan oleh pihak penggugat. “Pengajuan judicial review itu kan sudah agak lama, sejak tahun 2021 atau sebelum tahapan pemilu yang dibuat KPU berjalan,” ujarnya.
Dia mengibaratkan setelah pertandingan dimulai, lalu ada pihak yang ingin mengubah peratran pertandingan. Hal itu, katanya, akan membuat kerumitan dalam tahapan pemilu. “Mengapa MK sampai membiarkan waktu yang cukup panjang sampai akhirnya masuk di tahapan pemilu yang semestinya tidak harus ada,” ujarnya.
Sedangkan tantangan sistem pemilu dengan proporsional terbuka, menurutnya, adalah tantangan terkait dengan kelembagaan politik partai. Menurutnya, kelembagaan partai menjadi lemah karena banyak calon anggota legislatif yang masuk belakangan dan tidak paham dengan ideologi partai, tetapi menjadi kuat karena punya modal uang yang kuat. “Satu sisi kita ingin partai sebagai pilar demokrasi yang kuat dan mampu menyeleksi banyak figur yang di mata partai proses kadesrisasinya jalan, tapi dengan sistem terbuka ini caleg harus berkompetisi dalam dua level sekaligus, level di internal partai dan level di luar partai,” ujarnya.***
Penulis : Chandra
Editor : Chandra
