JAKARTA, SUARAINVESTOR.COM– Industri perbankan nasional diprediksi tetap solid di tengah volatilitas pasar modal dan perekonomian global. Hal ini karena faktor fundamental masih menopang kinerja sektor perbankan di tengah era suku bunga tinggi (higher for longer) yang diproyeksikan hingga akhir 2024. “Kami memandang kebijakan makroprudensial yang longgar dan disertai dengan likuiditas yang memadai, maka pertumbuhan kredit masih akan tetap kuat dan mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia meski di tengah berbagai tantangan sepanjang 2024,” kata Chief Economist PT.Mirae Asset Sekuritas Indonesia Rully Arya Wisnubroto dalam Media Day : April 2024 by Mirae Asset Sekuritas di Jakarta, Selasa, (23/4/2024).
Lebih jauh Rully mengaku optimistis sektor perbankan masih mencatatkan pertumbuhan kredit yang tetap tinggi atau sejalan dengan proyeksi Bank Indonesia (BI) berada di kisaran 10- 12 persen year on year (yoy). Tercatat, pertumbuhan kredit pada Januari 2024 cukup tinggi sebesar 11,8 persen (yoy), atau tertinggi pada hampir lima tahun terakhir, dan pertumbuhan kredit pada Februari 2024 tergolong tetap tinggi sebesar 11,3 persen (yoy).
Sementara itu, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada Januari dan Februari 2024 mulai membaik dengan masing-masing sebesar 5,8 persen (yoy) dan 5,7 persen (yoy), setelah tiga bulan terakhir pada tahun 2023 tumbuh di bawah 4 persen (yoy).
“Rasio kredit terhadap simpanan atau Loan to Deposit Ratio (LDR) juga masih relatif terjaga di bawah 85 persen, dan dengan tingkat kredit tidak lancar (NPL) yang juga masih rendah, ruang bagi peningkatan pertumbuhan kredit juga masih terbuka,” ujarnya lagi.
Dikatakan Rully, bahwa kondisi itu merupakan hasil dari kebijakan makroprudensial pemerintah yang pro-growth. “Kami memandang bahwa dengan kebijakan makroprudensial yang longgar dan disertai dengan likuiditas yang masih memadai, pertumbuhan kredit masih akan tetap kuat dan mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia meski di tengah berbagai tantangan di sepanjang tahun 2024 ini,” jelasnya.
Namun demikian, Rully menilai terdapat juga risiko yang harus di mitigasi ke depan agar stabilitas sektor keuangan tetap terjaga, seiring kebijakan stimulus restrukturisasi kredit perbankan untuk dampak COVID-19 telah berakhir per 31 Maret 2024 yang akan menyebabkan perbankan akan lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit.
Sementara itu, menurutnya, pergerakan mata uang Rupiah dalam jangka menengah masih sulit diprediksi karena sangat dipengaruhi oleh isu global, bukan dipengaruhi oleh kondisi dari dalam negeri.
Ia menyebut tren pelemahan Rupiah lebih disebabkan oleh sentimen higher-for-longer suku bunga kebijakan The Fed yang kembali menyebabkan volatilitas dan ketidakpastian pasar global. “Sentimen global tersebut, yang juga berdampak kepada besarnya aliran modal asing keluar dari Indonesia, menyulitkan BI untuk melakukan pelonggaran kebijakan moneter dalam waktu dekat,” pungkasnya.****
Penulis : Iwan Damiri
Editor : Chandra