JAKARTA, SUARAINVESTOR.COM–Gejolak perekonomian global masih dalam kondisi tidak pasti. Hal ini akibat dari konflik Rusia-Ukraina, perang dagang AS-Tiongkok dan krisis energi dan semua faktor ini ikut mempengaruhi ekonomi domestik suatu negara. “Meski ada gejolak ekonomi global, namun fundamental ekonomi Indonesia diyakini masih kuat. Karena, fenomena ekonomi global itu tidak langsung berdampak dengan ekonomi Indonesia,” kata Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto dalam diskusi Tumbuh Makna berthema “Pengaruh Tingkat Suku Bunga AS dan Perlambatan Ekonomi Tiongkok Terhadap Ekonomi Indonesia”, di Jakarta, Senin (17/7/2023).
Hadir pula, Co-Founder Tumbuh Makna, Fenny Tjahyadi, Analis dan Perencana Keuangan Benny Sufami. “Memang raksasa ekonomi dunia ketika bermasalah tentu akan mempengaruhi ekonomi global, sehingga diharapkan pertumbuhannya selalu baik. Tapi dalam konteks Tiongkok, nyatanya saat ini belum seperti yang diharapkan,” tuturnya.
Menurut Eko, dalam konteks ekonomi Tiongkok, pertumbuhan ekonominya harus sekitar 7% bila ingin pulih. Tentu berbeda dengan Indonesia yang hanya sekitar 5% saja sudah cukup. “Sementara itu, untuk Amerika sendiri, tingkat inflasinya sudah cukup rendah di angka 3%, tinggal ditunggu saja, apakah konsisten atau sifatnya sementara,” katanya.
Kekuatan ekonomi Indonesia, kata Eko, pada konsumsi domestik yang memungkinkannya akan terus tumbuh dan kebal dengan tekanan dari luar. “Jadi selama domestiknya masih bisa bergulir, sebetulnya kita masih bisa tumbuh sekitar 4,8%. Memang tidak se-impresif pemerintah yang memiliki target 5,3%,” ucapnya lagi.
Diakui Eko, sejauh ini ekonomi nasional masih terbilang stabil. Oleh karena itu, sudah saatnya melakukan government spending. “Anggaran ini harus segera dipompa untuk ke ekonomi riil, dieksekusi di sektor rill untuk kemudian menghasilkan PDB,” tuturnya.
Sementara itu, Co-Founder Tumbuh Makna, Fenny Tjahyadi mengatakan bahwa indikator perlambatan ekonomi di Indonesia belum terlihat, meskipun telah terjadi tekanan global kenaikan suku bunga AS. “Jadi analisanya adalah perlambatan ekonomi di Indonesia sangat kecil kemungkinannya untuk terjadi. Awal bulan Juli pun inflasi kita turun ke level 3,52%. Untuk kategori transportasi mengalami deflasi sebesar 0,1%,” ungkapnya.
Sedangkan untuk sektor makanan dan minuman inflasinya melambat di bawah 0,5 persen. Ini terjadi karena permintaannya sudah normal kembali pasca libur hari raya dan juga untuk suplainya sudah cukup tinggi. Selain itu, nilai tukar kita terbilang masih cukup kondusif di tengah nilai tukar mata uang negara-negara lain yang terkena dampak,” katanya menjelaskan.
Berdasarkan konsensus di pasar, lanjut Fenny, melihat bahwa BI masih punya ruang untuk menurunkan tingkat suku bunga. Kita memperkirakan penurunannya itu bisa sampai 50 hingga 75 basis point itu sampai di awal 2024. “Dengan adanya kemungkinan penurunan suku bunga ini, kita melihat akan jadi sentimen positif terutama di instrumen pendapatan tetap seperti obligasi. Itu tercermin dari net buy asing per bulan Juni sampai akhir Juni itu mencapai Rp80 triliun,” katanya
Melihat kondisi global dan pasar yang begitu dinamis, Analis dan Perencana Keuangan Benny Sufami menekankan bagi para investor untuk sabar dalam melakukan investasi pada 2023. Potensi pasar yang saat ini sangat menarik dan menguntungkan harus dapat dicermati dengan baik dan tepat. “Investor harus sabar dan menunggu karena ada potensi yang cukup menarik pada 2023 ini. Tren ini seperti Maret 2020 lalu di mana akan ada pertumbuhan yang positif sehingga dalam 12 bulan kita bisa melesat bila berkaca pada awal pandemi,” ujarnya.
Meski optimis melihat data makro pada 2023 ini, Benny menekankan bahwa para investor harus tetap berpatokan pada profil risiko masing-masing. “Saya rasa dengan fakta dan data yang ada, kita mesti optimis ekonomi kita akan berkembang. Hanya saja kita mesti hati-hati dalam mengambil kesempatan ini. Dalam konteks investasi, investor perlu memahami risikonya, sesuai dengan profil risiko masing-masing, baru kemudian melihat return-nya,” katanya.
Benny juga mengajak para investor untuk terus mengembangkan keahlian dan memperdalam keilmuan dalam melakukan investasi. Salah satunya dengan menguatkan literasi investasi dengan membaca dan memantau perkembangan ekonomi yang terjadi. “Investor mesti pula mengetahui profil diri sendiri untuk mencegah kesalahan atau bahkan investasi yang tidak sesuai. Lewat metode 2L (Legal dan Logis) dalam berinvestasi, disertai memperdalam literasi investasi, investor akan terhindar dari kerugian,” kata Benny mengakhiri.***
Penulis : Iwan Damiri
Editor : Kamsari