Nasional

Menunggu DPR Baru, Menuju Indonesia Emas

Menunggu DPR Baru, Menuju Indonesia Emas
Suasana ruang rapat paripurna DPR /Foto: John

JAKARTA–Pada awal Oktober 2024 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terpilih untuk periode 2024-2029 akan dilantik. Mereka merupakan hasil dari produk pemilu legislatif pertama yang diselenggarakan serentak dengan pemilihan presiden pada 14 Februari lalu. Pelantikan ini menjadi momentum baru bagi anggota DPR setelah menunggu sekitar delapan bulan untuk menjalankan tugas mereka. Meskipun mereka menunggu cukup lama dengan segala dinamika politik yang terus berkembang, satu hal yang pasti adalah mereka akan bermitra dengan presiden baru.

Sesuai hasil pemilu, presiden terpilih Prabowo Subianto akan dilantik pada 20 Oktober 2024 sekaligus menggantikan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Presiden Jokowi tidak lagi ikut dalam kontestasi politik Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 setelah memerintah selama dua periode sesuai aturan yang berlaku. Tentunya parlemen baru dan presiden baru nantinya mempunyai karakter yang sedikit banyak akan berbeda dengan pendahulu mereka. Walaupun dibentuk dalam proses yang sama, yaitu melalui koalisi partai politik, corak kepemimpinan di DPR dan lembaga eksekutif akan berbeda dengan gaya kepemimpinan sebelumnya.

Secara teoritis, perubahan dan perbedaan inilah yang turut mempengaruhi fungsi DPR sebagai kekuatan penyeimbang dalam demokrasi Indonesia. Maklum, latar belakang kekuatan politik di parlemen dan komposisi partai pendukung presiden kini berubah. Hanya saja fungsi DPR sebagai lembaga penyeimbang terus mendapat sorotan publik. Pasalnya, satu dekade terakhir, DPR masih terkesan menjadi lembaga tukang stempel. Perilaku mereka tidak banyak berbeda dengan masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto yang berkuasa selama kurang lebih 32 tahun.

Tidak salah pula kalau ada sebagian kalangan yang menilai DPR periode 2019-2024 merupakan parlemen “rasa pemerintah”. Padahal, sempat ada harapan di awal reformasi bahwa DPR akan menjadi kekuatan politik penyeimbang. Bagaimana tidak. Di awal periode kedua kepemimpinan Presiden Jokowi lahir sejumlah produk legislasi yang penuh kontroversi. Undang-undang yang dihasilkan mendapat sorotan publik karena dalam proses pembuatannya kurang melibatkan masyarakat. Karena itu tidak heran kalau satu produk legislasi disetujui oleh DPR tanpa ada perdebatan yang berarti.

Sebut saja revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) Nomor 30 Tahun 2003 menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019 yang penuh drama. Akibatnya, penolakan dari koalisi masyarakat sipil tak terhitung jumlahnya. Boleh dikatakan DPR akur dengan keinginan pemerintah karena kepentingan mereka sama. Agaknya logika politik yang mendasarkan kepentingan bersama sebagai acuan kesepakatan sedang bermain pada tahap tersebut.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) juga menggambarkan betapa DPR tidak berdaya berhadapan dengan pemerintah. Belum lagi proses pembuatan legislasi yang fenomenal dan menyedot perhatian publik terkait UU Cipta Kerja. Dengan segala dinamikanya yang berujung pada perbaikan, setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 muncul, UU Ciptaker “berhasil digolkan tanpa dapat dijangkau oleh tangan kiper”. Caranya melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 dan DPR menyetujui Perppu ini menjadi UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Ini kejadian luar biasa! Melemahnya kekuatan DPR sebagai kekuatan penyeimbang, yang menjadi indikator utama kemunduran demokrasi, terus mendapat sorotan para pengamat politik hingga hari ini.

DPR “rasa pemerintah”

Dari rangkaian fakta di atas, tidak dapat dibantah bahwa sikap kritis DPR dilihat publik hanya sebagai basa-basi dan seremonial belaka. Apalagi DPR cenderung sejalan dengan sikap pemerintah yang terlibat bersama dalam membuat undang-undang. Perdebatan kritis di antara dua lembaga ini dalam membahas persoalan publik bahkan bisa diselesaikan di ruang tertutup dan hasilnya harus diterima oleh masyarakat.

Guru Besar Filsafat STF Driyarkara, Franz Magnis Suseno atau Romo Magnis turut mengkritik DPR yang belakangan ini banyak melakukan revisi undang-undang tanpa urgensi yang jelas. Romo Magnis menyebut, jika lembaga legislatif terlalu sejalan dengan eksekutif maka hal itu dapat menghancurkan demokrasi. “Sekarang misalnya, kita lihat masih tinggal beberapa bulan mereka cepat-cepat memasukkan undang-undang yang problematik dan tidak dibicarakan, itu tidak beres,” ujar Romo Magnis dalam diskusi publik dengan tema “Hukum Sebagai Senjata Politik”, di Jakarta, Rabu (19/6/2024). Menurutnya, kalau suatu pemerintah didukung oleh hampir seluruh partai maka eksekutif bisa berbuat apa saja.

Romo Magnis pun menyinggung DPR yang jarang menyuarakan kritik terhadap banyaknya dugaan kecurangan dalam penyelenggaraan Pemilu 2024. Pendek kata, alih-alih memperjuangkan aspirasi masyarakat, DPR malah melakukan negosiasi dengan pemerintah guna mewujudkan kepentingan mereka masing-masing. Ditinjau dari sisi praktik di lapangan, hilangnya sikap kritis anggota DPR terhadap pemerintah merupakan dampak dari komposisi koalisi yang dibuat oleh elite partai politik. Belum lagi posisi ketua partai yang dilantik menjadi menteri dalam kabinet pemerintah yang berkuasa.

Sulit dibantah, faktor inilah yang menyebabkan anggota partai politik di DPR tidak leluasa memperjuangkan kepentingan masyarakat dalam membuat kebijakan yang seharusnya mereka lakukan bersama pemerintah. Akibatnya, hakikat demokrasi dengan prinsip pengawasan dan keseimbangan belum seutuhnya dilaksanakan oleh DPR.
Tidak kalah menariknya, pemerintah bersama DPR hanya membutuhkan satu setengah bulan untuk menyetujui UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara. Proses legislasi yang singkat ini berbeda dengan UU lain yang memerlukan waktu yang panjang bahkan bisa bertahun-tahun.

Padahal, demokrasi yang sehat membutuhkan keseimbangan antara kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif. Artinya, apa yang dilaksanakan oleh lembaga eksekutif harus mendapatkan pengawasan dari lembaga legislatif. Apalagi dalam menyelenggarakan kekuasaannya, lembaga eksekutif yang dipimpin oleh seorang presiden harus mengikuti apa yang diatur oleh UU yang dibuat bersama DPR.

Apa yang akan terjadi kalau UU yang diinisiasi oleh pemerintah berisi gagasan yang bertentangan dengan keinginan masyarakat. Apalagi DPR menyetujuinya karena adanya tekanan dari elite partai politik yang ada di dalam pemerintahan. Kondisi inilah yang bisa disebut dengan istilah termakan buah simalakama yang berujung pada penyalahgunaan kekuasaan eksekutif dalam sistem politik.

DPR baru dan konstelasi parpol

Terlepas dari berbagai persoalan dan sengkarut di atas, sebenarnya masih ada harapan dari publik agar DPR periode 2024-2029 menjadi kekuatan penyeimbang dalam berdemokrasi. Dengan demikian pelaksanaan tugas pokok dan fungsi DPR seharusnya dapat mengontrol jalannya pemerintahan. DPR harus dapat mengembalikan arah gerak demokrasi ini menjadi demokrasi sejati sebagaimana yang diharapkan masyarakat menuju Indonesia Emas 2045. Pasalnya, sekitar empat bulan lagi, pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan dilantik dengan konstelasi parpol yang berubah di DPR.

Menurut data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), perolehan kursi partai koalisi yang menang dan yang kalah dalam Pemilu 2024 cukup berimbang. Sebanyak 280 kursi (48,2 persen) dikuasai Koalisi Indonesia Maju dan 300 kursi (51,7 persen) untuk Koalisi Perubahan ditambah kursi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Komposisi ini berbeda dari awal periode DPR yang lalu ketika pemerintah menguasai 60 persen kursi di DPR dan kemudian semakin kuat dengan terjadinya perubahan koalisi pendukung pemerintah.

Perolehan kursi hasil Pemilu 2024 dipimpin oleh PDIP dengan 110 kursi dari 580 kursi yang diperebutkan, disusul Partai Golkar 102 kursi dan Partai Gerindra 86 kursi. Berikutnya, Partai Nasdem 69 kursi, PKB 68 kursi, PKS 53 kursi, PAN 48 kursi dan Partai Demokrat 44 kursi. Sedangkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) gagal masuk Senayan karena tidak memenuhi syarat ambang batas parlemen.

Menurut dosen jurusan Ilmu Politik dari Universitas Andalas, Asrinaldi Asril, kalau komposisi 280 kursi DPR untuk parpol pendukung pemerintah dan 300 kursi dikuasai oleh Koalisi Perubahan ditambah kursi dari PDIP di parlemen, maka komposisi itu cukup ideal dalam sistem demokrasi. “Kondisi ini membuktikan bahwa fungsi penyeimbang bisa dilaksanakan oleh DPR, ujarnya seperti dikutip Kompas (15/4/2024). Dia menambahkan bahwa anggota DPR harus bisa melepaskan diri dari kekuasaan rezim yang memerintah dalam membuat kebijakan.

Relasi DPR dan Presiden harus profesional

Memang tidak mudah untuk menjadikan parlemen sebagai lembaga ideal untuk bermitra dengan presiden baru. Akan tetapi, harapan itu masih ada seiring dengan berbagai dinamika politik terkini yang terus berkembang. Selain anggota DPR harus bisa melepaskan diri dari kekuasaan rezim, mereka juga harus bisa membuat kebijakan secara profesional. Dengan demikian, mereka tidak sekadar menyetujui UU yang diajukan pemerintah, tetapi bersikap kritis atas segala produk legislasi yang dikeluarkan.

Berikutnya, kehadiran mereka dalam setiap sidang bersama pemerintah sangat dibutuhkan. Kehadiran mereka juga bukan hanya diukur dari sisi kuantitas, tetapi juga dari sisi kualitas perdebatan dan gagasan atas substansi yang dibahas. Para anggota DPR harus meninggalkan aktivitas-aktivitas di luar pelaksanaan fungsi mereka. Apalagi aktivitas yang tidak terkait dengan proses pembuatan kebijakan.

Dalam konteks hubungan yang profesional, anggota DPR tidak boleh terjebak pada perilaku yang tidak demokratis, seperti memenuhi kepentingan rezim yang berkuasa dengan dalih untuk menstabilkan pemerintahan. Sedangkan pada sisi lain, anggota DPR seharusnya tidak boleh menerima konsesi ekonomi maupun kekebalan hukum. Demikian juga dengan promosi politik yang selalu dijanjikan oleh elite yang berkuasa. Artinya, untuk menjadi kekuatan penyeimbang dari pemerintah, hubungan yang dibangun dengan lembaga eksekutif harus bersifat rasional dan profesional. Walaupun sebagian besar partai politik di DPR ikut berkoalisi mendukung presiden terpilih, misalnya, dalam konteks fungsi institusi mereka harus saling memperkuat agar demokrasi tetap sehat.

Terakhir, jika ingin melihat demokrasi di Indonesia berjalan ke arah kemajuan dengan memperhatikan aspirasi publik, tentu harus dimulai dengan perubahan perilaku anggota DPR itu sendiri. Terlepas dari apakah mereka sudah berpengalaman di Senayan maupun belum, keteguhan dari setiap anggota DPR periode 2024-2029 untuk bangkit sebagai kekuatan penyeimbang dalam berdemokrasi, sangat diharapkan. Keteguhan itulah yang diharapkan mampu menjadikan DPR berubah agar tidak ada lagi istilah “DPR rasa pemerintah” di masa datang.

Penulis     :   John A Oktaveri

Editor      :    John A Oktaveri

BERITA POPULER

To Top