*) Tri Juwanto
Sejak dulu hingga kini, upaya menghapus jejak koperasi terus terjadi. Itu sebabnya kenapa koperasi seperti mandeg, alias jalan di tempat. Sebenarnya, upaya menghapus jejak atau mengkerdilkan koperasi sudah berlangsung sejak masa Orde Baru hingga kini. Akibatnya bisa dilihat bagaimana kondisi koperasi saat ini. Bahkan koperasi kian tertinggal jauh dari pelaku usaha lain, misalnya swasta dan BUMN. Kontribusi koperasi terhadap pendapatan domestik atau PDB dari dulu hanya bergerak di kisaran 10%-12%.
Keterlibatan masyarakat dalam berkoperasi juga seiriing waktu kian menurun. Dulu di jaman Orde Baru masih di atas 12%. Namun sekarang menurut data Kantor Menteri Koperasi & UKM 2020 hanya berkisar 8%. Artinya, jauh tertinggal dari negara-negara lain yang sudah mencapai 15%-20%. Tentu sangat ironis, melihat negara kita yang menempati peringkat 4 dunia dengan jumlah penduduk terbesar di dunia 220 juta jiwa.
Kemunduran koperasi salah satunya, karena tidak ada kemauan atau keseriusan pemerintah dalam memajukan koperasi. Justru yang terjadi adalah upaya penghapusan atau pengkerdilan koperasi. Salah satu contoh kasus besar yang terjadi pada Bank Bukopin. Bukopin yang berdiri 1970 pada awalnya berbadan hukum koperasi. Didirikan dan dimodali oleh 7 induk koperasi, diantaranya Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI), Inkopol, Inkopad, Inkopal, Inkopal, Inkud, ditambah Yayasan Bulog (non koperasi). Tujuan didirikannya Bukopin tentu untuk ikut membantu kemajuan koperasi.
Sebagai lembaga keuangan berorientasi pada pembiayaan atau permodalan koperasi. Setelah 20 tahun beroperasi Bukopin mampu masuk menjadi 10 bank terbesar di Indonesia. Dengan aset mencapai Rp 1 triliun. Besarnya Bukopin tidak lepas dari keterlibatan koperasi/KUD. Namun apa yang terjadi kemudian, tindakan penghapusan jejak dilakukan Pemerintahan Soeharto. Lewat kaki tangannya, Bob Hasan, bersama Salim pada 1990, “diperintahkanlah” untuk mengambil alih Bukopin.
Bob Hasan menggeser Bustanul Arifin yang kala itu sebagai pimpinan Bukopin. Menggantinya dengan Mandala Muchtar. Selang 3 tahun, tepatnya 29 Juni 1993 Bukopin kemudian diubah dari koperasi menjadi Persero (PT). Bahkan, Bustanul Arifin yang menjabat Menteri Koperasi tak mampu berbuat banyak. Karena beliau juga mendapat tekanan sang penguasa kala itu.
Pengalihan Bukopin menjadi PT tentu menjadi bukti, bahw koperasi tidak diharapkan tumbuh besar. Kalau perlu dicabut sampai keakar-akarnya. Setelah itu Bukopin tidak lagi melihat koperasi sebagai mitra bisnis tapi sebagai sapi perahan. Terbukti, pimpinan Bukopin Muchtar Mandala pada 1991 setelah Bulog menjadi “sapi perahan”, hal sama juga dilakukan pada koperasi/KUD.
Ia tahu KUD merupakan perpanjangan tangan Bulog dalam menampung padi dari petani. Karenanya, Bukopin minta kepada Bulog untuk menaikan pungutan padi yang dijual petani ke Bulog lewat KUD. Semula Rp1 per Kg, kemudian minta dinaikan menjadi Rp5 per Kg.
Dana itu harus didepositokan di Bukopin. Entah, sudah berapa ratus miliar dana itu terkumpul. Namun hingga reformasi 199 terjadi, dana itu tidak jelas rimbanya. Tidak hanya berhenti disitu. Lewat BPPC (Badan Penyangga dan Penjualan Cengkeh) yang memonopoli penjualan cengkeh di Indonesia, Bukopin juga menjadi kapal keruk.
Ceritanya begini, BPPC yang awalnya ditugasi jadi konsultan KUD justru memanfaatkan KUD sebagai perpanjangan tangannya. Dengan menjadikan sebagai penampung cengkeh dari petani atau anggota. Lalu, setiap anggota/petani yang menjual cengkeh dibebani dana penyertaan sebesar Rp2000 per kg, lalu uang titipan di KUD sebesar 1.900 per kg. Melihat besarnya dana tersebut yang terkumpul di KUD lalu oleh BPPC yang berkongsi dengan Bukopin ditarik untuk disimpan di bank tersebut.
Hingga BPPC dibubarkan dana cengkeh yang terkumpul (menurut penelitian FE I) rentang waktu 1991-1996) diperkirakan mencapai Rp 2,3 triliun. Dana milik anggota koperasi sebesar itu yang mestinya jadi modal KUD, lagi-lagi tak jelas pertanggungjawabannya. Sampai satu persatu KUD bangkrut, dana itu tak pernah kembali ke petani atau KUD. Andai Bukopin tetap berbentuk koperasi, diyakin Bukopin akan menjadi dewa penolong koperasi. Karena menjadi lembaga keuangan satu-satunya yang berpihak pada koperasi. Kebangkrutan KUD di desa-desa tak perlu terjadi secara masif.
Penyelewengan
Kasus Bukopin ternyata tidak membuat kita sadar. Bahwasannya, pemerintah tetap acuh atau tak peduli pada keberadaan koperasi. Koperasi seakan dibiarkan bergerak sendiri. Izin begitu mudah dikeluarkan. Ditambah lagi, pengawasan begitu longgar. Banyak koperasi yang tidak melakukan RAT bertahun-tahun dibiarkan. Bimbingan amat minim diberikan. Akibatnya muncul koperasi abal-abal.
Koperasi dibajak oleh oknum pemilik modal. Yang sesungguhnya mereka itu “penipu”, rentenir atau lintah darat. Lewat koperasi mereka mengeruk uang masyarakat lalu kabur. Banyak kasus penyelewengan koperasi, terbanyak pada Koperasi Simpan Pinjam (KSP). Sehingga banyak merugikan masyarakat. Misalnya, kasus penipuan KSP Indosurya (sekitar Rp 106 trliun), KSP Indodana (sekitar Rp13 triliun), KSP Sejahtera Bersama (sekitar Rp 249 miliar), KSP Tinara (sekitar Rp 300 miliar), KSP Pandawa (sektar Rp 1 triliun) dan masih banyak lagi.
Dari berbagai kasus penipuan yang banyak mengatasnamakan koperasi, maka sama artinya menghapus jejak koperasi. Koperasi yang awal keberadaannya mulia untuk membangun ekonomi berkeadilan dan cocok bagi masyarakat secara kolektif. Lalu, menjadi tercoreng akibat penyalahgunaan koperasi. Kemudian, masyarakat melihat koperasi tak berguna.
Pemerintah, dalam hal ini kantor/dinas koperasi dan UKM melihat fenomena ini seakan tak berdaya. Tak mampu berbuat apa-apa. Karena mereka secara langsung ikut terlibat dalam upaya penghapusan atau menghancurkan predikat koperasi. Dari rentetan kasus dan tidak seriusnya pemerintah terhadap keberadaan koperasi, maka wajar jika masyarakat lambat laun tak percaya lagi pada koperasi. Dan ini telah terjadi. Jika pemerintah tetap abai, maka jangan lagi kita bicara koperasi sebagai soko guru ekonomi nasional. Buat apa kalau hanya dijadikan barang pajangan di etalase. Terpampang dalam UUD 1945 tapi tak berarti dalam praktek dilapangan.***
*) Pemerhati sosial dan koperasi
