*) Candra Naradhipa Cahyakusuma
Industri perbankan nasional terus melakukan inovasi untuk mempermudah dan memanjakan para nasabahnya. Adapun layanan perbankan yang mampu memanjakan nasabah, yakni dengan menyediakan berbagai aplikasi digital. Dengan memberikan aplikasi-aplikas baru itu, maka perbankan berlomba dan sekaligus berkompetisi dalam mendongkrak transaksi digital. Secara otomatis, maka transaksi digital akan terpacu. Baik itu melalui kartu debit, kartu kredit, mobile banking, e-wallet, dan QRIS. Ditambah lagi ada GoPay, OVO, LinkAja, Doku atau Dana, dan masih banyak lagi.
Namun ada fenomena yang menarik dalam Laporan Surveillance Perbankan Indonesia (LSPI) pada Triwulan IV-2023 yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK, 27 Maret 2024). Dimana OJK menyebutkan bahwa jaringan kantor bank umum konvensional (BUK) di seluruh Indonesia tersisa 115.539 per triwulan IV-2023 atau berkurang 4.676 unit. Artinya, jaringan kantor terbanyak masih didominasi oleh terminal perbankan elektronik (TPE) alias mesin ATM/CDM/CRM sebanyak 91.412 unit. Namun jumlah mesin ATM itu menyusut 1.417 unit dari setahun sebelumnya 92.829 unit.
Menurut Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, (Metrotvnews.com, 17 July 2024), bahwa transaksi Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) atau pembayaran kode QR tumbuh signifikan mencapai 226,54 persen secara tahunan (yoy) pada Juni 2024. Transaksi QRIS tumbuh 226,54 persen yoy, dengan jumlah pengguna mencapai 50,50 juta. Data Bank Indonesia (BI) menjelaskan bahwa secara umum transaksi digital banking di Indonesia tercatat mencapai 5.363 juta transaksi atau tumbuh sebesar 34,49 persen yoy. Transaksi uang elektronik (UE) juga naik 39,24 persen yoy dengan 3.958,53 juta transaksi.
Dari sisi ritel, volume transaksi BI-FAST (BI-Fast merupakan singkatan dari Bank Indonesia Funds Transfer System) tumbuh positif 67,79 persen yoy mencapai 785,95 juta transaksi. Namun demikian, transaksi pembayaran menggunakan kartu anjungan tunai mandiri (ATM) pada Juni 2024 turun 8,42 persen yoy menjadi 1.759,92 juta transaksi. Karena itu, seiring dengan masifnya digitalisasi, maka diprediksi jumlah transaksi maupun jumlah mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM) yang dimiliki bank kian susut ke depan.
Menurut Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja, bahwa BCA akan mendorong nasabahnya untuk beralih menggunakan layanan berbasis internet untuk keperluan transaksi perbankan. Sebelumnya, BCA akan menambah 2.759 unit ATM sampai akhir tahun ini. (Kompas.com, 3 Maret 2016). Namun ternyata overhead cost perbankan salah satunya disebabkan mahalnya operasional Anjungan Tunai Mandiri (ATM). Biaya perawatan untuk satu mesin ATM saja bisa mencapai Rp 144 juta per tahun.
Menurut dia, biaya depresiasi mesin ATM yang harganya 20.000 dollar AS, bisa mencapai Rp 200 juta per bulan. Apalagi, saat ini belum ada mesin ATM buatan lokal. Sehingga, penambahan mesin ATM hanya dilakukan ketika nilai tukar rupiah melorot. Hal itu tentu saja makin menambah beban pihak bank. “Itu sebabnya semakin lama, ATM itu menjadi barang mahal bagi bank,” jelas Jahja.
Pandemi Covid dan Gaya Hidup
Menurut Carla Sheila Wulandari dalam artikelnya di Laman www.bi.go.id (31 Maret 2023) menyebutkan bahwa maraknya infeksi virus Covid-19 juga membuat masyarakat enggan untuk keluar rumah karena takut tertular. Segala aktivitas masyarakat dilakukan di rumah, kondisi ini memantik kegiatan online.
Transaksi pembayaran pun dilakukan secara online atau non tunai. Hal ini membuat penggunaan dompet digital seketika naik daun. Riset Neurosensum Indonesia (dalam Cakti, 2020) mengungkapkan sebelum pandemi, penggunaan dompet digital hanya berkisar 10%. Namun sepanjang tahun 2020 terjadi lonjakan persentase penggunaan dompet digital yang mencapai 44%, bahkan memungkinkan pertumbuhan pengguna akan terus meningkat.
Bank Indonesia (BI) mencatat adanya pertumbuhan transaksi digital dan penurunan transaksi tunai selama pandemi virus corona (Covid-19). Penyebabnya, adalah realisasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk mencegah penyebaran Covid-19. Bahkan kebijakan PSBB membuat sejumlah sektor beralih ke transaksi elektronik menggunakan Quick Response Code Indonesia Standard (QRIS) mulai dari tempat ibadah hingga pasar tradisional. (Kompas, 30 April 2020).
Pasar tradisional juga mulai pakai QRIS, karena memang kondisinya membuat begitu. Tercatat, transaksi melalui e-commerce meningkat 18,1 persen menjadi 98,3 juta transaksi. Total nilai transaksi naik 9,9 persen menjadi Rp20,7 triliun. Sementara itu, interkoneksi transaksi QRIS di merchant meningkat mencapai 2,2 juta transaksi selama Maret 2020 dengan total nominal mencapai Rp 75,1 miliar atau rerata Rp 34.177 per transaksi. Secara volume, transaksi off net naik 130 persen dari Februari 2020.
Berdasarkan Riset Kredivo dan Katadata Insights Center (KIC) yang dirilis databoks.katadata.co.id, (3 Juni 2022) menunjukkan, generasi milenial atau yang berumur 26-35 tahun menjadi penyumbang terbesar terhadap proporsi jumlah transaksi belanja online selama pandemi Covid-19. Tercatat, ada 48% konsumen e-commerce berumur 26-35 tahun yang melakukan transaksi pada 2021. Persentase tersebut masih sama dari tahun sebelumnya.
Sementara itu, konsumen umur 18-25 tahun yang melakukan transaksi belanja online menurun dari 29% pada tahun 2020 menjadi 23% pada 2021.Di sisi lain, transaksi belanja online pada konsumen dengan rentang umur 36-45 tahun meningkat dari 19% pada 2020 menjadi 23% pada tahun lalu. Kemudian, konsumen berumur 46-55 tahun yang melakukan transaki belanja online sebanyak 5% pada tahun lalu. Persentase tersebut juga lebih tinggi dari tahun sebelumnya, yakni 3%.
Menurut Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Filianingsih Hendarta (Mediaindonesia.com, 17 Juli 2024) melaporkan bahwa transaksi tunai di EDC (Electronic Data Capture) yang bersifat face to face mengalami penurunan. Pada Maret 2024, pertumbuhan transaksi EDC minus 20,7 persen dengan nilai Rp 231 miliar. Pada April 2024, transaksi semakin turun 45,5 persen dengan nilai Rp 125 miliar. Di saat bulan puasa yang umumnya kebutuhan uang tunai meningkat, namun pada tahun 2024 ini menurun. Kebutuhan uang tunai diperkirakan juga akan menurun.***
*) Mahasiswa FTMM Universitas Airlangga, Jurusan Teknik Robotika dan Kecerdasan Buatan