Infrastruktur

Megawati: Ibukota Harus Disiapkan Hadapi Kemungkinan Bencana Alam

Megawati: Ibukota Harus Disiapkan Hadapi Kemungkinan Bencana Alam

JAKARTA-Ketua Umum DPP PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri merasa khawatir dengan wilayah DKI Jakarta sebagai ibukota negara yang menurutnya tidak serta-merta aman dari bencana alam.

Penegasan disampaikan Megawati dalam sebelum melepas bantuan tahap 2 korban bencana gempa dan tsunami ke Sulawesi Tengah (Sulteng) di Kantor DPP PDIP, Jalan Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Senin (8/10) kemarin.

Menurut Megawati, letak geografis Jakarta yang tidak jauh dari Selat Sunda tempat Gunung Krakatau dan Anak Krakatau yang dikenal sangat aktif. Sementara Jakarta juga punya banyak gedung pencakar langit, jembatan layang yang bahkan ada yang bertingkat, kemujdian ada MRT dan LRT.

Putri Proklamator RI Bung Karno itu mengharapkan bangunan pencakar langit di Jakarta juga punya sistem antigempa. “Apakah mereka punya sistem antigempa, saya tak tahu. Mudah-mudahan sudah,” kata Megawati.

Hal penting lainnya bagi Jakarta, menurutnya harus ada sistem pemadam api di gedung-gedung tinggi. Bukan hanya di gedung pemerintah yang harus melakukan, itu takkan cukup,” katanya.

“Saya minta tolong Jakarta, apa persiapannya. Bukan mau bikin takut. Cuma bagaimana tak panik, karena tak ada panduan. Beda kalau ada panduan. Pasti beda dong,” ujarnya.

Lebih jauh, Presiden RI ke 5 ini mengatakan Indonesia berada di kawasan cincin api (ring of fire) dan samudera yang rawan bencana alam baik erupsi gunung berapi, gempa bumi, hingga tsunami. Salah satu negara lain yang punya karakter sama dengan Indonesia adalah Jepang.

Jepang dinilainya masih lebih baik dalam persiapan menghadapi bencana alam dibanding Indonesia. Iapun menceritakan pengalamannya ketika mengalami gempa saat berada di Jepang.

Satu kali, Megawati berlibur ke Jepang bersama keluarganya. Saat makan, Megawati dan rombongan memilih naik ke lantai ketiga restoran itu. Gempa pun terjadi saat sedang menikmati makanan.

“Bergoyang-goyang. Kami hanya satu keluarga orang asing, yang lain orang Jepang. Mereka duduk saja sambil mengunyah. Kami sekeluarga sudah panik. Teman saya orang Jepang lalu bilang, sudah tenang saja,” katanya.

Ia mengaku heran begitu tenangnya orang-orang Jepang saat terjadi gempa. Setelah banyak bertanya dan mendapat penjelasan, diketahui bahwa itu karena sistem peringatan dini bencana (early warning system) dan pendidikan kebencanaannya sangat bagus.

Di Jepang, bila gempanya memang berkekuatan besar, sirine langsung berbunyi keras. Bila berbunyi satu kali, siapapun orangnya, harus segera bergegas ke lapangan terbuka. Sekaligus membawa sebuah bag pack yang sudah disiapkan oleh masing-masing pemilik rumah.

Didalamnya disiapkan dua setel pakaian, dua selimut, bahan makan untuk dua hari, dan obat-obatan yang diperlukan. “Semua rumah sudah diminta bersiap begitu, dan letak back pack itu tak boleh diganggu agar saat kejadian bisa langsung dibawa,” ungkap Megawati.

Bila bunyi sirine dua kali, berarti masyarakat Jepang harus lari menuju jalan-jalan khusus yang aman dan sudah disiapkan. Lokasi jalan khusus itu benar-benar aman dari air laut dari terjangan tsunami, sudah ditandai dengan patok-patok kayu.

“Sirine ketiga, tak ada lagi lari pelan. Artinya lari secepatnya ke lokasi aman,” kata Megawati.

Di lokasi aman yang sudah disiapkan, menanti berbagai peralatan pengungsian seperti tenda. “Saya harap yang seperti ini disosialisasikan. Kita contoh Jepang yang punya kewaspadaan sangat baik. Rakyatnya ikut berpikir. Karena sejak setingkat TK, sudah diajarkan cara hidup di sebuah negara yang penuh dengan bencana alam,” jelas Megawati.

Soal penanganan gempa di tanah air, Megawati mengisahkan pengalamannya ketika menjabat sebagai Wakil Presiden RI era 1999-2001. Saat itu, pemerintahannya menghadapi berbagai bencana.

Saat diserahi tugas oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika itu, Megawati baru mengetahui kala itu persoalan bencana hanya ditangani subdirektorat di Departemen Perhubungan dan Departemen Sosial. Akibatnya, tanggap darurat di lokasi bencana tidak bisa dilakukan secara cepat.

“Tanggap darurat dengan cepat adalah poin yang selalu saya gemborkan saat itu kepada struktur pemerintahan,” ungkapnya.

Dari pengalaman itu pula, saat menjadi Presiden ke 5 RI, ia menjadikan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) yang semula di bawah Departemen Perhubungan menjadi lembaga pemerintah non-departemen (LPND).

Di bawah pemerintahannya, ia lantas menyusun prosedur tetap dalam menanggulangi bencana dan mengirim bahan bantuan. Megawati juga punya catatan penting tentang penanganan korban bencana di pengungsian. Menurutnya, di lokasi pengungsian harus ada dapur umum.

Ia mencontoh, rakyat yang terbiasa makan nasi tentu tidak tahan jika setiap hari mengonsumsi mi instan. Korban bencana banyak mengalami disentri karena terus-menerus mengonsumsi mi instan. “Orang Indonesia ini butuh nasi,” ucapnya.(nto)

BERITA POPULER

To Top