JAKARTA, Mengkritisi penyelenggaraan perfilman saat ini, Forum Peranserta Masyarakat Perfilman (FPMP) menyatakan tak percaya terhadap hasil FFI 2017 ini. Karena itu, FPMP menyesalkan cara-cara pelaksanaan Festival Film Indoensia (FFI) 2017 ini.
“FFI pelanggaran Peraturan dan Perundang-undangan, FPMP juga tidak mempercayai hasil-hasil FFI 2017 sebagai kelanjutan dari sejarah diselenggarakannya FFI sejak 1955,” demikian keterangan pers yang disampaikan kritikus film Wina Armada di Jakarta, Jumat (10/11/2017).
Sonny Pudjisasono dari Pusat Perfilman H Usmar Ismail, juga menyampaikan, semangat dari sikap ini adalah dalam kerangka menjaga marwah ‘Piala Citra’ sebagai simbol penghargaan tertinggi bagi prestasi artistik film Indonesia.
“Piala Citra menjadi simbol penghargaan di FFI untuk film-film Indonesia sebagaimana yang diperjuangkan Usmar Ismail sebagai Bapak Perfilman Indonesia. Jadi, tidak lucu kalau Piala Citra dibagi-bagi untuk arah dan tujuan yang berbeda,” kata Sonny.
Apalagi, nama Citra itu sendiri berasal dari syair karya Usmar Ismail, yang kemudian menjadi lagu, lantas difilmkan dua kali oleh Usmar Ismail.
Karena itu FPMP mendukung dilakukannya audit khusus pada dana APBN dan APBD yang dialokasikan untuk penyelenggaraan FFI maupun untuk Badan Perfilman Indonesia (BPI).
Masyarakat Perfilman mendesak Pengurus BPI untuk patuh pada Undang-undang Perfilman yang menjadi dasar pembentukannya, menjalankan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (ADRT) sesuai Kongres BPI, menjalankan amanat kongres, serta terbuka, adil, dan demokratis bagi seluruh unsur stakeholders BPI.
FPMP juga menyesalkan sikap pemerintah yang terus-menerus tidak menepati janji untuk melaksanakan amanat UU Perfilman berupa penerbitan Rencana Induk Perfilman Nasional (RIPN) serta Peraturan Pemerintah atau Keputusan Menteri yang memberi perlindungan dalam tata edar Film Indonesia.
“Masalah tata edar ini sangat penting bagi kami, karena kami sebagai pembuat film merasa benar-benar menjadi anak tiri di negeri sendiri,” kata produser Nicky Rewa.
Produser J Yansen Senjaya mengeluh karena filmnya yang terbaru hanya mendapatkan jatah sepuluh layar saat beredar. “Makin ke sini situasinya makin menuju penindasan terhadap Film Indonesia,” ungkapnya.
Kusumo Priyono dari organisasi Gasa Indonesia mengatakan, FPMP akan melakukan langkah-langkah berikutnya yang bersifat konstruktif dalam kerangka ikut berpartisipasi dalam membangun perfilman Indonesia.
“Pertemuan sepakat untuk merencanakan diselenggarannya Kongres Peranserta Masyarakat Perfilman Indonesia, sebagai langkah memperjuangkan Film Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Kami memakai istilah pribumi, karena kenyataannya Film Indonesia masih dijajah oleh film asing, “ kata Kusumo Priyono.
Rully Sofyan dari Asosiasi Rekaman Film dan Video (Asirevi), menjelaskan, pada prinsipnya BPI dibentuk dan hadir adalah untuk menjalankan amanat dari stakeholders perfilman. “Kami melihat, hampir setahun bekerja, yang dilakukan BPI tidak amanah,” tuturnya.
Semua pihak sepakat untuk menindaklanjuti gerakan moral ini menuju tahap-tahap yang kongkret, konstruktif, dan bermartabat. Selain merencanakan Kongres Peranserta Masyarakat Perfilman Pribumi, FPMP juga berharap bisa berkomunikasi dengan menteri yang membawahi perfilman serta dengan Komisi X DPR RI.
“Semua ini adalah wujud peranserta masyarakat dalam penyelenggaraan perfilman yang dijamin oleh UU. Tentu saja, ini sikap kepedulian yang baik bagi penyelenggaraan perfilman. Sebab, kalau orang baik diam, kejahatan akan merajalela,” kata Akhlis Suryapati.