JAKARTA, SUARAINVESTOR.COM– Peneliti dari Pusat Ekonomi Makro dan Keuangan INDEF, Abdul Manap Pulungan mengatakan gejolak ekonomi dunia memberikan pengaruh yang berbeda di tiap negara. Seperti kenaikan harga minyak dunia, yang dampaknya dirasakan Indonesia. “Amerika hanya bermasalah di inflasi, sementara di sisi tingkat pengangguran, Amerika terbilang cukup bagus, sehingga tekanan dari harga minyak global ini akan relatif minor bagi Amerika,” kata dalam Talkshow Tumbuh Makna yang mengangkat tema “Outlook Ekonomi Dunia dan Pengaruhnya Bagi Indonesia”, di Jakarta, Kamis (15/9/2023).
Tetapi, kata Abdul Manan, bagi negara yang situasinya berbeda seperti Inggris dan negara-negara Eropa lainnya, tentu dampaknya akan lebih terasa karena negara-negara tersebut memiliki masalah tingkat inflasi yang tinggi dan juga pengangguran yang tinggi. Meski begitu, kenaikan harga minyak tersebut bukanlah faktor satu-satunya yang mendorong terjadinya gejolak ekonomi global, namun terdapat faktor lain yang menyertainya, yakni perang Rusia-Ukraina. “Saya melihat kenaikan harga minyak ini sebetulnya temporer saja, tidak akan signifikan seperti tahun 2022,” ujarnya.
Sementara terkait kebijakan suku bunga The Fed, Abdul mengungkapkan bahwa bank sentral AS itu memiliki pengaruh yang kuat untuk mengubah situasi ekonomi global. “Ketika The Fed mengubah suku bunganya tentu akan diikuti oleh negara lain. The Fed adalah leader di pasar keuangan global. Jadi, apa yang dilakukan The Fed umumnya akan diikuti oleh bank sentral lainnya, karena The Fed menjadi benchmark bagi negara-negara lain untuk suku bunganya. Oleh karena itu, ada istilah ketika The Fed bersin maka negara-negara lain akan mabok,” tuturnya.
Indonesia Mampu Atasi
Lebih jauh Abdul optimis Indonesia mampu melewati situasi dari gejolak tersebut, mengingat Indonesia pernah melewati situasi tekanan ekonomi yang lebih sulit. Hanya saja, Indonesia perlu melakukan penyesuaian secara mendalam dan melakukan langkah-langkah strategis agar turbulensi ekonomi dunia tidak mendorong hal terburuk terjadi di tingkat domestik. “Saya melihat, Indonesia cenderung siap menghadapi gejolak ekonomi global saat ini. Karena Indonesia sudah pernah melewati situasi yang lebih buruk dari itu. Tinggal bagaimana kita melakukan penyesuaian internal dari kenaikan harga minyak itu. Sebenarnya sudah banyak wacana-wacana yang berkembang terkait bagaimana meningkatkan diversifikasi produksi yang tidak hanya terbatas pada bahan-bahan mentah seperti minyak, tetapi bisa shifting ke energi terbarukan,” ujarnya.
Abdul menekankan bahwa mesti ada kebijakan strategis untuk menekan negara-negara produsen minyak, agar kedepan pembatasan produksi minyak dunia dapat dikontrol sebagaimana mestinya. Terlebih di dalam negeri, kenaikan harga minyak dunia tersebut tentu dapat mendorong pemerintah Indonesia dalam menaikan harga BBM. Hal tersebut dapat dilakukan demi merawat fiskal agar tetap defisit dibawah 3%.
Sementara itu, Founder Tumbuh Makna, Muliadi San, menganalisis lebih jauh mengenai kekuatan ekonomi Indonesia. Bahwa dalam konteks pertumbuhan ekonomi Indonesia, khususnya dalam perkembangan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), masih dapat dikategorikan tergolong cukup stabil dalam merespons gejolak ekonomi dunia yang terjadi belakangan ini. “Saya melihat valuasi IHSG kita cenderung atraktif. Kami telah mengumpulkan data di berbagai tahun. Berdasarkan data dari 2013 sampai 2022, pada bulan September itu, IHSG ada di zona merah sebanyak 6 tahun dari 10 tahun,” paparnya.
Dikatakan Muliadi, artinya adalah di bulan September, IHSG itu kecenderungannya mengalami koreksi. Sementara di bulan Oktober, IHSG kita selama 8 tahun ada di zona hijau, dan hanya 2 tahun berada di zona merah. “Jadi probabilitasnya di bulan Oktober IHSG itu mengalami kenaikan. Secara statistik hal ini cukup menarik untuk pasar saham kita di sisa bulan semester II 2023,” jelasnya.***
Penulis : Iwan Damiri
Editor : Kamsari
