JAKARTA, Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon menilai tidak terpenuhi unsur makar pada kasus dugaan makar terhadap Rachmawati Soekarnoputri dan kawan-kawan yang ditangkap menjelang aksi damai tanggal 2 Desember 2016. Karena itu Waketum Gerindra itu meminta Presiden Jokowi, Kapolri, dan Kapolda menghentikan kasus itu atau SP3.
“Saya berpendapat tidak ada terpenuhi unsur makar di situ, dan ini pasal yang seharusnya betul-betul dibuat dengan hati-hati dan harus juga diperhatikan dengan hati-hati tidak sembarangan. Kalau tidak, ini akan membuat demokrasi terancam, karena negara kita bukan negara polistate,” tegas Fadli Zon ketika menerima audiensi Rachmawati Soekarnoputri, Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) dan kuasa hukum para terduga makar di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (10/01/2017).
Selanjutnya, sebagai Pimpinan DPR RI seperti halnya menerima audiensi dari masyarakat lainnya, dia akan segera meneruskan apa yang disampaikan Rachmawati dan kawan-kawan yaitu menutup perkara ini kepada Presiden, Kapolri dan Kapolda.
“Saya kira ini harus ada satu langkah, yaitu perkara ini ditutup. Dan, permintaan daripada bapak-bapak dan Ibu-ibu akan segera saya sampaikan kepada Presiden RI, Kapolri, dan Kapolda agar masalah ini tidak berlarut-larut dan energi kita sebagai bangsa juga tidak tersedot oleh perkara yang sebetulnya omong-kosong, kalau tidak ada bukti-bukti yang kuat,” ujarnya.
Menurut Fadli, apa yang disampaikan Rachmawati dan para kuasa hukum jelas bukti-buktinya masih sangat sumir dan bahkan dalam persoalan diksi, etimologi kata makar saja orang bisa berbeda interpretasi.
“Masak orang berniat aksi damai dikatakan makar. Saya kira apa yang disampaikan Ibu Rachmawati bahwa aksi itu berbeda dengan peristiwa 1965 dan sebagainya dimana ada kekerasan fisik, senjata, itu jelas makar. Kalau aksi 21216 senjatanya mana? Tidak ada senjata. Perlu juga disampaikan ke MPR, ke DPR dan sebagainya yang merupakan rumah rakyat yang dijamin konstitusi,” tambahnya.
Dikatakan, konstitusi kita jelas mengatakan baik konstitusi UUD 1945 yang ditetapkan 18 Agustus 1945 atau perubahannya, itu ada jaminan hak untuk berbicara, hak untuk berkumpul, hak untuk berserikan, dan hak untuk menyampaikan pendapat baik lisan maupun tulisan.
Dalam pertemuan yang juga dihadiri anggota Komisi III DPR RI Fraksi Gerindra Supratman Andi Agtas dan Wenny Warrouw, anggota DPR dari daerah pemilihan Jawa Barat itu meminta data ataupun petisi-petisi yang lengkap sebagai bahan untuk mendalami adanya dugaan melanggar hukum.
“Karena ini kami baru mendengar dari sepihak dimana proses interogasinya seperti sebuah dagelan. Dan saya kira itu menunjukkan ketidakprofesionalan, dan kita tidak ingin ada polisi yang tidak professional,” jelasnya.
Mengingat polisi itu pengayom dan pelayan masyarakat kata Wenny, ini perlu juga diketahui publik, apakah ini perbuatan oknum atau memang menjadi suatu policy, kebijakan, dan ini menjadi bagian dari tugas DPR untuk melakukan pengawasan.
Apakah kemudian ada unsur pelanggaran hak asasi manusia (HAM) termasuk di dalam hal ini penahanan tanpa proses BAP, dan kalau benar sebagaimana disampaikan pengacara dalam kasus Sri Bintang Pamungkas, Zamran dan Ruslan.
Karena itu Fadli Zon, ada sejumlah kejanggalan yaitu tentang proses yang begitu cepat, tidak ada satu kehati-hatian. “Kita menyayangkan, kenapa tidak ada satu gelar perkara yang terbuka, yang transfaran terhadap kasus dilakukan saudara Ahok, dalam hal ini polisi sangat hati-hati mengistimewakan Ahok untuk menjadikan dia tersangka?” katanya mempertanyakan.
Tapi dalam kasus ini, polisi demikian cepat; tiba-tiba dan ada semacam satu ketergesa-gesaan yang bisa membuat tindakan itu professional. Bahkan bisa dianggap abuse of power atau melanggar hukum itu sendiri. “Semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum,” pungkasnya.