JAKARTA – Anggota Komisi VII DPR RI Harry Purnomo menyatakan seharusnya pemerintah mengajak DPR RI untuk mencari solusi dalam kasus freeport. Sebab, masalah freeport ini menyangkut kepentingan nasional yang sangat besar dan berhadapan dengan Amerika Serikat. Baik dari aspek regulasi, ekonomi, sumber daya alam (SDA), hukum, nasionalisasi dan sebagainya.
“Kita mendukung sikap pemerintah dengan semangat menegakkan undang-undang. Jangan sampai mengingkari UU. Kita juga jangan ribut terus soal salah atau benar, melainkan harus mencari solusi. Bahwa freeport diwajibkan membangun smelter dan divestasi saham 51 %. Nah, semelter itu biayanya bisa dikonvensi dari saham dan ini belum dikomunikasikan dengan pemerintah,” tegas politisi Gerindra itu dalam dialektika demokrasi “Freeport : Kebijakan pemerintah dan ancaman koorporasi’ bersama pengamat EWI (Energi Watch Indonesia), Ferdinan Hutahean di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis (23/2/2017).
Menurut Harry, penolakan freeport membangun smelter tersebut bisa melibatkan industri pertambangan yang lain. Seperti Newmont, Natuna dan sebagainya. Dimana smelter itu nantinya digunakan bersama untuk mengelola hasil tambang. “Jadi, DPR perlu diajak bicara dan pemerintah tak perlu khawatir karena mayoritas di DPR mendukung pemerintah,” ujarnya.
Karena itu Harry minta pemerintah tidak terlalu percaya diri dengan siap menghadapi pengadilan ‘arbitrase’, tapi kalau kalah apa antisipasinya, dan kalau menang mau bagaimana? “Semua harus diantisipasi. Apalagi freeport kabarnya akan tuntut ganti rugi Rp 500 triliun,” pungkasnya.
Sementara itu Ferdinand menilai sejak awal freeport sangat berkuasa karena dalam kontrak karya-nya. Seperti diatur dalam pasal 31dimana freeport bisa memperpanjang kontrak kapan saja. Pada era SBY perpanjangan kontraknya sampai 2021 dan di era Jokowi, menteri Sudirman Said muncul masalah.
“Jadi, pemerintah ini gagal paham freeport di tengah investor membutuhkan kepastian hukum. Dan, dengan PP No. 21/2017 tentang IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus) ini, freeport menolak pembangunan smelter karena dianggap tak jelas, dan tetap berpegangan kepada kontrak karya. Kontrak karya ini lex specialist sehingga tak bisa diintervensi dengan aturan lain dan pemerintah tidak konsisten dengan UU Minerba, yang tak mengharuskan membangun smelter,” ungkapnya.
Karena itu kata dia, nasionalisasi freeport itu jangan sampai melanggar hukum dan mengganggu investasi yang lain. “Pemerintah memang dilema; maju kena, mundur kena. Solusinya adalah mengeluarkan Perppu terkait larangan ekspor konsentrat di IUPK itu,” pungkasnya.