Nasional

Demi Keutuhan NKRI, Negara Harus Terus Memproduksi Pahlawan

Demi Keutuhan NKRI, Negara Harus Terus Memproduksi Pahlawan

JAKARTA-Negara harus terus menerus memproduksi pahlawan. Sehingga album pahlawan bisa dilihat secara nyata oleh rakyat. Karena itu bagian dari nation state. “Jadi begitu dilihat ada pahlawan dari daerah itu , maka masyarakat desa mengakui bagian Indonesia,” kata Sejarahwan JJ Rizal dalam dialog kebangsaan “Pahlawan Jaman Now” bersama Ketua Badan Pengkajian MPR Bambang Sadoni di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Senin (13/11/2017).

Menurut Alumus FIB UI, banyaknya pahlawan itu sangat dibutuhkan untuk mempererat NKRI. Artinya memang gelar pahlawan yang diberikan oleh pemerintah selama ini lebih politis daripada sejarah kepahlawanan itu sendiri.

Lebih jauh Rijal menjelaskan pahlawan itu perwujudan dari nilai-nilai sebagai orang Indonesia. Dan, itulah yang coba diinstitusionalisasi oleh Bung Karno dan Bung Hatta. “Sayangnya ada dua tokoh; Semaun dan Tan Malaka, yang sampai hari ini belum diangkat sebagai pahlawan. Di era Orde Baru, pahlawan malah identik dengan militer,” jelasnya.

Padahal, kalau hari pahlawan itu merujuk kepada peristiwa perang besar 10 November 1945 di Surabaya, ada tiga tokoh berbarengan dengan itu. Yaitu, Abdul Muis, Ki Hajar Dewantoro (Pendiri Taman Siswa) dan Sugiyo Pranoto (guru sekolah rakyat), yang sama sekali tidak terkait dengan militer. “Jadi, kita sekarang punya 173 pahlawan nasional. Tapi, begitu sulitnya menemukan nilai-nilai dan perilaku kepahlawan dari pejabat kita dari pusat sampai daerah. Kita rindu tindak-tanduk kepahlawanan itu, baik dari mati dan khususnya dari yang masih hidup. Sehingga yang ada adalah irasionalitas kepahlawanan,” Imbuhnya.

Sementar itu, Ketua Badan Pengkajian MPR RI Bambang Sadono menegaskan Pahlawan zaman sekarang haruslah orang atau pejabat yang bisa menjadi contoh dan suri teladan masyarakat luas. Misalnya perilaku yang jujur, tidak korupsi, membela rakyat, mengentaskan kemiskinan, komitmen terhadap NKRI, Pancasila, dan mengutamakan kepentingan rakyat daripada diri dan kelompoknya. “Kita butuh keteladanan dengan perilaku yang patut dicontoh dan diikuti untuk kemajuan, kedaulatan negara, kemakmuran, dan kesejahteraan masyarakat,” katanya

Untuk MPR RI sendiri kata Bambang, sudah bertugas sosialisasi 4 pilar MPR RI. Namun, MPR tak mampu sendirian, sehingga pemerintah merespon dengan membentuk UKP-IP (Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila) yang diketuai oleh Yudi Latif. “UKP-IP ini kita harapkan mampu melakukan pembaruan dan semangat baru agar seluruh PNS khususnya pejabat negara dan daerah berperilaku baik. Bisa menjadi teladan masyarakat dan tidak korupsi,” ujarnya.

Selanjutnya nilai-nilai tersebut disosialisasikan melalui kurikulum pendidikan sekolah, dan pentingnya arah pembangunan semacam Garis-Garis Haluan Negara (GBHN), agar pembangunan ke depan tidak menjadi personalisasi presiden sendirian. “Jadi, melalui GBHN ini arah pembangunan itu lebih baik, dan MPR RI melakukan langkah-langkah strategis yang lebih besar. Jadi, pahlawan itu harus bersedia mengorbankan jiwa raganya untuk kepentingan orang banyak,” tambah senantor dari Dapil Jawa Tengah itu.

Persoalannya saat ini menurut Bambang, rakyat saja tak mau memilih calon pemimpin yang baik kalau tak ada uang atau money politics. Hanya saja dia kagum ternyata akhir-akhir muncul masyarakat yang anti money politics dalam Pilkades di Kebumen, Jawa Tengah. Sebab, saat kampanye mendatangkan ustadz, calon kepala desa tersebut dilarang memberi transport sang ustadz. “Ini fenomena bagus. Tapi, kalau tidak percaya silakan cek langsung ke Kebumen,” imbuhnya.

Sementara itu, JJ Rijal sendiri mengatakan pahlawan itu perwujudan dari nilai-nilai sebagai orang Indonesia. Dan, itulah yang coba diinstitusionalisasi oleh Bung Karno dan Bung Hatta. “Sayangnya ada dua tokoh; Semaun dan Tan Malaka, yang sampai hari ini belum diangkat sebagai pahlawan. Di era Orde Baru, pahlawan malah identik dengan militer,” jelasnya.

Padahal, kalau hari pahlawan itu merujuk kepada peristiwa perang besar 10 November 1945 di Surabaya, ada tiga tokoh berbarengan dengan itu. Yaitu, Abdul Muis, Ki Hajar Dewantoro (Pendiri Taman Siswa) dan Sugiyo Pranoto (guru sekolah rakyat), yang sama sekali tidak terkait dengan militer. “Jadi, kita sekarang punya 173 pahlawan nasional. Tapi, begitu sulitnya menemukan nilai-nilai dan perilaku kepahlawan dari pejabat kita dari pusat sampai daerah. Kita rindu tindak-tanduk kepahlawanan itu, baik dari mati dan khususnya dari yang masih hidup. Sehingga yang ada adalah irasionalitas kepahlawanan,” ungkap Rijal.

Anehnya lagi kata dia, gelar pahlawan yang diberikan oleh pemerintah selama ini lebih politis daripada sejarah kepahlawanan itu sendiri. Namun, bagaimana pahlawan itu sangat dibutuhkan untuk mempererat NKRI. Dan, itu harus diperkenalkan kepada generasi zaman now melalui film dan kurikulum pendidikan.“Film dan kurikulum merupakan media yang baik untuk mengenalkan kepahlawanan tersebut. Hanya saja sutradara dan penulis, harus memahami sejarah itu sendiri, agar ceritanya tidak terpotong-potong dan mencederai perjuangan pahlawan itu sendiri,” pungkasnya.

Print Friendly, PDF & Email

BERITA POPULER

To Top