Industri & Perdagangan

Berkontribusi Besar pada Negara, DPR Minta Pemerintah Perhatikan Nasib Petani Tembakau

Berkontribusi Besar pada Negara, DPR Minta Pemerintah Perhatikan Nasib Petani Tembakau
Diskusi tembakau rokok/foto anjasmara

JAKARTA,SUARAINVESTOR.COM – Anggota Banggar DPR RI Firman Soebagyo mengingatkan pemerintah dan semua pihak, bahwa industri pertembakauan nasional memiliki kontribusi besar terhadap negara dari berbagai potensinya. Seperti peningkatan kesejahteraan petani sebagai produk hulunya, kesejahteraan masyarakat dan keluarganya dari pertanian industri tembakau itu sendiri.

“Tembakau juga memberikan kontribusi terhadap penerimaan negara, dimana cukai rokok itu setiap tahunnya mengalami peningkatan, di tahun 2022 sebesar Rp178 triliun, kini akan ditingkatkan lagi,” demikian Firman Subagyo.

Hal itu disampaikan politisi Golkar itu dalam dialektika demokrasi “Menilik Visi Calon Presiden 2024 tentang Keberlangsungan Lapangan Kerja pada Industri Hasil Tembakau” bersama anggota DPR RI TPN Amin, Luluk Nur Hamidah (virtual), Wakil Ketua Umum DPP PAN Tim Prabowo-Gibran Viva Yoga Mauladi, Perwakilan TPN Ganjar-Mahfud, Wisnu Brata dan Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia Provinsi NTB, Sahminuddin di Gedung DPR RI Senayan Jakarta, Kamis (23/11/2023).

Lebih lanjut kata Firman, tanpa disadari dengan meningkatkan tarif cukai rokok ini ada efek negatif terhadap industri rokok menengah ke bawah, yang dikuasai oleh industri dalam negeri, tapi dengan kebijakan kenaikan cukai rokok, yang secara pelan tapi pasti akan mematikan industri kecil petani sendiri.

“Ini tidak sesuai dengan spirit Presiden bahwa, industri kecil dan menengah harus disupport, inilah yang harus menjadi perhatian bersama, karena hampir semua industri rokok menyerap tenaga kerja dan didominasi oleh kaum wanitanya sebagai pelinting rokok,” ujarnya.

Luluk Nur Hamidah mengatakan pentingnya perlindungan kepada petani tembakau yang tidak bisa ditawar. Karena mereka ini mempunyai hak untuk mendapatkan jaminan bahwa kerja-kerjanya itu dilindungi, baik itu kerja produksinya, pasca produksi bahkan termasuk perlindungan bagi kesejahteraan keluarga petani tembakau sendiri.

Ia mengakui jika industri tembakai memberikan kontribusi besar pada negara melalui cukai yang mencapai Rp178 triliun tersebut. “Pertanyaannya sejauh mana apa yang sudah dilakukan oleh negara untuk bisa memastikan bahwa kehidupan petani dan pelaku industri rokok itu tidak terus-menerus di bawah ancaman dan kriminalisasi,” ujarnya.

Viva Yoga Mauladi menegaskan data produksi rokok dalam setahun sebanyak 320 miliyar batang, itu artinya dibutuhkan setidaknya 320 ribu ton tembakau untuk memenuhi kebutuhan tersebut. “320 ton tembakau pertahun dan itupun dari data lebih banyak impor, karena luas area pertanian kita tidak pernah bertambah secara signifikan, sehinggga tembakau ini merupakan tanaman musiman, yang didelingi dengan polowijo, padi dan lain-lain.

Setidaknya, luas lahan arealnya hanya 330.000 hektar, yang paling banyak kalau dibandingkan antara perkebunan rakyat, perkebunan besar negara milik BUMN dan perkebunan besar swasta milik swasta, dan yang paling banyak adalah perkebunan rakyat, tetapi produktivitasnya paling rendah.

Menurut Viva Yoga, dari volume dan nilai ekspor impor tembakau untuk 2021 kita ekspor dengan nilai 213 juta US$ tapi kita impor 586 juta US$, malah lebih tinggi impor daripada ekspor. “Jadi, masalah tembakau ini bukan hanya persoalan kesehatan tetapi juga persoalan hak hidup sebagai warga negara, persoalan ekonomi rakyat kecil, persoalan sosial budaya dan persoalan industri,” ungkapnya.

Sememtara itu, kandungan rokok ini diantaranya Acetone (Penghapus Cat), Naphtylamine (Zat Karsinogenik), Methanol (Bahan Bakar Roket), Pyrene (Pelarut Industri), Dimethylnitrosamine (Zat Karsinogenik), Naphtalene (Kapur barus), Cadmium (Dipakai accu mobil), Carbon Monoxide (Gas dari knalpot) inilah bahan menakutkan dan kita hirup setiap hari.

“UU kesehatan kita sudah mengetahui bahwa rokok adalah termasuk zat adiktif yang dimasukkan bukan sebagai narkotika. Lalu, petani tembakau, posisi tim kampanye nasional Prabowo-Gibran itu adalah pro petani tembakau, karena petani apapun varietasnya itu harus kita bela,” katanya.

Wisnu Brata memegaskan
munculnya regulasi tembakau Indonesia dimulai tahun 1999 di era BJ Habibie dengan mengeluarkan PP 81 tahun 1999, yang di dalammnya mengatur masalah nikotin yang tak boleh lebih dari 1,5 Mg dan Tar tak boleh lebih dari 30 Mg, dan itu adalah aturan standarisasi. Tapi, aturan itu dianggap akan membelenggu petani tembakau nasional, yang secara geografis akan menghasilkan kandungan nikotin diatas angka tersebut.

Pasca PP itu dikeluarkan maka terjadilah beberapa industri yang padat modal mengeluarkan inovasi produk dengan mengeluarkan rokok Mild, dan pada saat itu marketnya sangat rendah dan anehnya dalam setiap batang komposisi rokok Mild itu 90% adalah impor. “Dan, karena inidustri sudah mengeluarkan inovasi produk dan ternyata berkorelasi dengan masuknya tembakau impor, tahun 2003 impor itu hanya 28000 ton, naik di 2010 menjadi 96000 ton dan puncaknya tahun 2013 itu mencapai 150.000 ton, sehingga 65% produksi petani nasional mulai macet, karena tembakau impor lebih tinggi dibanding dengan produksi nasional,” jelas Wisnu.

Pada tahun 2010 terjadi amandemen UU Kesehatan,.dan keluar PP No.109 dimana kita sudah terikat dengan aturan internasional. Alhasil di Singapura harga rokok Rp146.000 tapi UMR mereka itu 4.350 dolar Singapura setara dengan Rp64 juta. “Jadi, perbandingan rasio antara harga rokok dan pendapatan jauh dibandingkan dengan Indonesia yang upah rata-ratanya Rp3 juta, sedangkan harga rokoknya Rp45.000, jauh melampaui harga psikologis. Ini masalah yang menjadi perhatian Ganjar-Mahfud,” jelas Wisnu.

Penulis: M Arpas

Editor: Kamsari

BERITA POPULER

To Top