JAKARTA-PKB mengakui sangat berat mendorong Ketua umum Muhaimin Iskandar maju sebagai Calon Presiden pada Pemilu 2019. Alasannya elektabilitas Presiden Jokowi masih teratas dari kandidat lainnya. “Kita sadar untuk masuk capres berat, karena UU Pemilu syaratnya harus mencapai 20%. Makanya lebih rasional itu cawapres,” kata anggota Komisi VIII DPR KH Maman Imanulhaq dalam diakusi “Menakar Cawapres Potensial 2019” bersama Ketua DPP Partai Demokrat, Jansen Sitindaon dan pengamat politik SMRC Sirojudin Abbas di Jakarta, Kamis (9/11/2017).
Meski begitu,
Anggota Dewan Syuro DPP PKB ini menilai lebih baik muncul wacana Cawapres muda dibanding muncul isu SARA. Seperti yang terjadi pada Pilkada DKI Jakarta, dan isu SARA akan muncul kembali menjelang Pilkada 2018 dan pemilu serentak 2019. “Munculnya Ketum PKB A. Muhaimin Iskandar atau Cak Imin sebagai Cawapres, itu dorongan relawan dan bukannya dari PKB. Karena relawan, jadi sifatnya partisipatif, terbuka, dan datangnya dari berbagai kalangan,” tegasnya.
Maman mengakui Presiden Jokowi berhasil dalam membangun infrastruktur selama memimpin Indonesia, namun masih ada kekurangannya. Yaitu, pembangunan sumber daya manusia (SDM) khususnya dalam membangun isu-isu agama, yang terus ‘digoreng’ menjelang Pilkada maupun Pilpres saat ini.
Karena itu kata dia, diperlukan Islam yang moderat, damai, dan melawan radikalisme dengan hadirnya Cak Imin, untuk melanjutkan perjuangan Gus Dur akan Islam yang damai, tolerans, dan komitmen terhadap PBNU (Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan UUD NRI 1945). “Jadi, kalau sebagai Cawapresnya Jokowi di 2019 itu memang dibutuhkan,” pungkasnya.
Sementara Jansen membeberkan data elektabilitas Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) terus meningkat. “Kalau pada Maret 2017 mencapai 0,4 %, per Oktober ini tembus 14,3 %. Elektabilitas ini melampaui Cak Imin (1,1%), Gatot Nurmatyo, Anies Baswedan dan lain-lain itu lembaga survei Pollmark,” ujarnya.
Dengan demikian kata Jansen, elektabilitas Jokowi akan tergantung kepada Cawapres yang akan dipilih. “Kalau yang dipilih AHY, maka elektabilitas Jokowi akan makin naik,” ungkapnya.
Sementara itu Sirojuddin juga mengakui elektabilitas Jokowi terus meningkat dan dipastikan Jokowi maju lagi untuk Pilpres 2019. Tapi, tidak demikian halnya dengan Prabowo, yang sudah mengikuti Pilpres empat kali, dan selalu kalah. “Maka pertanyaannya; apakah Prabowo mau maju lagi atau tidak? Atau cukup sebagai king makers?” tanya alumni UIN Syahid, Ciputat itu.
Sebab kata Sirojuddin, elektabilitas Jokowi saat ini jauh lebih baik dibanding saat SBY menjelang 2 tahun Pilpres 2007. “Tapi, kita lihat pada Juni, Juli, dan Agustus 2018 nanti. Kalau elektabilitas Jokowi bertahan di 50 %, maka Jokowi akan leluasa memilih Cawapres,” jelasnya.
Dengan begitu, maka Jokowi tak akan tergantung kepada Cawapres yang disodorkan oleh parpol. Sama halnya dengan SBY, sehingga dia memilih Boediono yang sama-sama dari Jawa Timur, dan terbukti menang lagi.
Menurut Sirojuddin, ada 3 kemungkinan; pertama: sejauhmana isu yang berkembang menjelang Pilpres 2019, inilah yang akan menentukan siapa Cawapres yang tepat. “Kalau isunya ancamannya keamanan dari dalam dan luar negeri, maka Cawapresnya sangat mungkin dari militer,” ungkapnya.
Kedua, kalau isunya keprihatinan ekonomi, maka Cawapresnya diumungkinkan dari ekonom, dan ketiga, bisa jadi rentetan isu Pilkada DKI Jakarta, isu SARA itu berlanjut, sehingga Cawapres yang diumungkinkan dari kalangan Islam moderat. “Jadi, tergantung pada isu yang berkembang menjelang Pilpres 2019,” katanya.
Untuk survei Indikator Politik, Cawapres yang muncul justru yang tertinggi Ahok, Gatot Nurmantyo, Sri Mulyani, dan lain-lain. Karena itu, menurut Sirojuddin, parpol penting membaca keinginan masyarakat. Dimana pemilih di pilpres 2019 itu adalah 55 % berusia 17 – 38 tahun, dan yang melek internet sebesar 45%. “Bisa muncul Cawapres dari kalangan muda,” pungkasnya. ***