Nasional

Sidang Terdakwa Christoforus Richard, Jaksa Disebut Tak Mampu Hadirkan Bukti Otentik

Sidang Terdakwa Christoforus Richard, Jaksa Disebut Tak Mampu Hadirkan Bukti Otentik

JAKARTA- Sidang lanjutan sengketa perkara kepemilikan tanah di Bali dengan terdakwa Christoforus Richard (CR) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (19/12), belum mampu membuktikan dugaan pelanggaran pidana yang dilakukan terdakwa. Jaksa belum bisa memberikan bukti-bukti otentik atau asli sesuai isi dakwaan.

Pada sidang lanjutan itu, sedianya majelis hakim yang diketuai Kartim Haeruddin mengagendakan mendengarkan keterangan saksi ahli Arifinal, namun di dalam persidangan terdakwa Richard mengaku dirinya sakit. Tim Penasihat hukum terdakwa antara lain Sirra Prayuna, I Wayan Sudirta dan Teguh Samudera
meminta agar majelis hakim menunda persidangan untuk memberikan kesempatan terdakwa di rawat di rumah sakit.

“Karena kondisi terdakwa mengalami bengkak di kaki, mata yang memerah, dan kondisi badan yang terlihat lemah. Relevansinya tidak tepat memaksakan orang sakit untuk dipaksa bersidang. Karena pada akhirnya terdakwa juga tidak akan konsentrasi,” kata Hakim Kartim memenuhi permintaan tersebut.

Oleh karena melihat kondisi terdakwa dalam perkara pemalsuan dokumen tersebut, majelis hakim akhirnya menerima permintaan terdakwa dan tim penasihatnya agar terdakwa dibantarkan untuk menjalani perawatan di rumah sakit independen hingga dinyatakan sehat kembali oleh pihak RS.

“Dengan demikian, hari ini sidang tidak dilanjutkan karena terdakwa sakit. Sementara majelis akan menunda persidangan ini hingga tanggal 28 Desember untuk mendengarkan keterangan ahli,” kata Hakim Kartim.

Usai persidangan, Tim Penasihat Hukum Terdakwa, I Wayan Sudirta menjelaskan ada tiga kelemahan mendasar dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam perkara ini yaitu tidak ada surat pernyataan asli dari pihak berwenang tentang pengakuan penggugat yang menyatakan sebenar-benarnya sebagai pihak yang bertindak menguasai fisik tanah berupa akta dua bidang tanah seluas 6,9 hektar dan 7 hektar di Bali itu.

Kedua, tidak ditemukan siapa yang membuat surat pernyataan itu dan siapa yang menandatnganinya, serta isi surat pernyataannya pun sesuai penelitian dengan hasil penelitian tanggal 30 September 2013 yang menyimpulkan bahwa seluruh pegawai BPN Bali tidak mengetahui adanya pemalsuan dokumen seperti yang diperkarakan.

“Jadi jaksa sudah kehilangan pijakannya sama sekali. Sudah jelas, harus ada aslinya. Kalau hanya berupa fotokopi, nggak ada aslinya maka tidak bisa menjadi alat bukti,” kata mantan senator dari Bali ini.

Selain itu, menurut dia, hilangannya pijakan jaksa dalam dakwaan bisa dicermati dari perubahan pasal yang digunakan dalam dakwaan. “Dakwaannya menggunakan Pasal 263, tetapi hasil pemeriksannya menggunakan Pasal 266. Padahal unsur pidana Pasal 263 dan Pasal 266 itu berbeda. Sehingga ada pembelokkan pasal dalam dakwaan, ini nggak boleh dilakukan jaksa,” ujarnya.

Sudirta mengatakan dari pengalamannya beracara selama ini, tiap laporan pidana yang diajukan apabila menggunakan bukti-bukti tidak asli maka sudah pasti ditolak sejak dalam proses penyelidikan di kepolisian. “Tetapi, kenapa di penyidikan kejaksaannya menerima, bahkan hingga ke pengadilan.

“Ada apa ini? Kok bisa lanjut. Berapa ribu kasus seperi ini tidak ada surat asli di seluruh Indonesia yang sudah ditolak perkaranya karena menggunakan bukti tidak asli. Lalu kenapa bisa diterima laporannya. Apa keistimewaan kasus ini, sehingga laporan tanpa surat asli bisa diterima,” gugatnya.

Di tempat sama, penasihat hukum terdakwa lainnya Sirra Prayuna mengakui surat pernyataan yang menjadi dasar dakwaan dari pihak berwenang yang menyatakan bahwa penggugat sebenar-benarnya sebagai pihak yang memiliki tanah yang disengketakan itu hingga saat ini tidak bisa dihadirkan penggugat dan jaksa.

“Ini yang majelis minta bisa dihadirkan di dalam persidangan. Intinya itu di surat pernyataan. Surat pernyataan yang terkait dengan menyatakan bahwa sebenar-benarnya saya (penggugat) bertindak sebagai menguasai fisik tanah. Ini yang masih kita cari. BPN pun tidak bisa melegalkan sertifikat tanah hanya berdasarkan pernyataan pribadi,” tegas Sirra yang diamini Tim Pensihat hukum lainya Teguh Samudera.

Sejak awal, Sirra mengaku bahwa proses hukum perkara ini janggal. Karena surat pernyataan yang menjadi isi dakwaan diberi catatan yaitu surat pernyataan sesuai dengan fotokopinya, bukan sesuai dengan aslinya. “Jadi kata aslinya dicoret. Ini yang tidak bisa diberikan penggugat,” imbuhnya.

Dengan Lemahnya dakwaan yang ada itu, tim penasihat hukum terdakwa meyakini majelis hakim akan menolak dakwaan jaksa. “Karena kalau tidak surat pernyataan, lalu di mana bisa membuktikan unsur pidananya seperti yang disangkakan melanggar Pasal 143,” tegas Sirra.(nto)

Print Friendly, PDF & Email

BERITA POPULER

To Top