Opini

Mempertanyakan Efektifitas Mesin Parpol Koalisi Pada Pilpres 2019

Mempertanyakan Efektifitas Mesin Parpol Koalisi Pada Pilpres 2019

*)Pangi Syarwi Chaniago

Pemilu seretak (concurrent election) yang dilaksanakan untuk pertama kalinya menyisakan dilema yang membuat sebagian besar partai politik peserta pemilu 2019 pusing tujuh keliling. Pemilihan presiden dan anggota legislatif yang dilaksanakan secara serentak membawa dampak politik yang dikenal dengan istilah “coattail effect”.

Istilah ini bisa dimaknai sebagai karakteristik elektoral adanya pengaruh kuat dari seorang kandidat presiden yang dicalonkan terhadap elektabilitas partai pengsungnya. Efek dongkrak elektabilitas partai ketika calon yang diajukan memiliki elektabilitas tinggi.

Pemilu serentak juga menjadi misteri, pemilu yang paling rumit dalam sejarah, di mana ada 5 kertas suara yang bakal dicoblos rakyat di bilik suara, apakah akan terjadi fenomena “split ticket voting” fenomena pembelahan dukungan pilihan, tidak tegak lurusnya antara pilihan calon presiden dengan partai dan caleg.

Kalau kita baca data, pada Pemilu 2004, pemenang pemilu adalah Golkar sebesar 21,58% dan PDIP 18,53%, sementara presentasi suara demokrat hanya 7,45% namun partai demokrat berhasil mengantarkan SBY terpilih menjadi presiden pertama kalinya dipilih secara langsung oleh rakyat pada pilpres 2004.

Demokrat hanya 5 besar dan bukan pemenang pemilu pada waktu itu bisa memenangkan pemilihan presiden karena terjadinya “split ticket voting” tidak tegak lurusnya pilihan partai dengan magnet elektoral aktor yang bertanding (figur) disebabkan pembelahan dukungan di tingkat grassroot/basis dukungan PDIP dan Golkar akibat dari kesetian pemilih cair karena masih lemahnya partai ID di Indonesia.

Situasi ini tentu akan menjadi masalah tersendiri bagi partai yang tergabung dalam koalisi yang bukan merupakan partai asal sang calon presiden. Namun partai-partai anggota koalisi masih punya jalan keluar, mereka harus membangun asosiasi yang kuat terhadap sang kandidat untuk memaksimalkan dukungan terhadap partainya, namun ini bukan pekerjaaan mudah.

Dalam membaca situasi “rule of the game” ini kita bisa menggunakan tiga logika utama untuk memetakan posisi partai politik. Pertama, “logika koalisi”. Di mana setiap partai yang tergabung dalam koalisi semestinya mempunyai kesepahaman untuk memenangkan kandidat yang sama-sama mereka usung. Soliditas partai koalisi adalah kunci untuk mewujudkan tujuan ini, namun kontrak politik yang jelas menjadi prasyarat utama.

Maka jika prasyarat utama ini tidak terpenuhi, soliditas partai yang tergabung dalam koalisi bisa tergangu. Koalisi yang dibangun dengan kontrak politik yang tidak mengikat anggotanya (political engagement) dengan kuat akan cenderung membuat masing-masing partai “miskin loyalitas” mencari jalan yang menguntungkan bagi partai itu sendiri.

Kedua, “logika partai”. Partai politik sebagai bagian dari alat untuk memaksimalisasi kekuasaan tentu akan digunakan oleh para anggotanya seoptimal mungkin. Maka ‘game theory’ partai politik akan memanfaatkan segala sumberdaya yang dimiliki untuk memenangkan partainya, semakin besar dukungan yang mereka dapatkan akan menentukan posisi tawar mereka dikemudian hari.

Atas dasar ini juga partai politik yang tergabung dalam koalisi yang merasa tidak diuntungkan akan mengambil langkah jalan sendiri bagaimana upaya menyelamatkan partainya, apapun yang terjadi, siapa pun presiden yang terpilih yang jelas masa depan partai adalah hal yang utama. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi partai yang ngak punya tiket capres.

Ketiga, “logika elektoral”. Situasi politik berkaitan dengan pemilu serentak membawa konsekuensi lain berkaitan dengan ‘coattail effect’ yang memberi keuntungan maksimal hanya kepada partai formatur ( partai asal capres), sehingga partai non-formatur harus bermain cantik untuk memaksimalkan dukungan terhadap partainya selain upaya asosiatif terhadap kandidat capres yang mereka usung.

Kita sepakat, amat sepakat bahwa ketiga logika di atas menjadi dasar utama, rasolionalisasi bagi sebagian partai untuk menyelamatkan partainya masing-masing, ketimbang hanya berfokus pada capres yang belum tentu berdampak positif secara elektoral terhadap masa depan partainya.

Oleh karena itu, saya melihat efektifitas mesin partai koalisi pendukung capres di luar mesin utama PDIP dan Gerindra belum punya dampak yang signifikan mendongkrak elektabilitas capres-cawapres. Padahal kunci kemenangan pilpres ada pada mesin partai, figur dan kepiawaian membaca trend perilaku pemilih, apa yang disenangi dan betul-betul mahir membaca apa yang dibutuhkan rakyat.

*) Analis Politik Sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Reseach and Consulting

Print Friendly, PDF & Email

BERITA POPULER

To Top