Nasional

Fahri : Solidaritas Rakyat Terbangun Dari Lidah Pemimpin

Fahri : Solidaritas Rakyat Terbangun Dari Lidah Pemimpin

JAKARTA – Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah kembali berkicau lewat akun twitter-nya @Fahrihamzah. Dalam kicauannya itu, Fahri mengusulkan perlu adanya Menteri Urusan Media. Dalam
tradisi presidensialisme Amerika, Press Secretary yang saban hari masuk TV dan bicara. Dan menteri dimaksud, tugasnya melayani media sampai puas dan nggak ada pertanyaan lagi. Supaya utuh pesannya. “Jadi baik presiden maupun juru bicaranya sangat aktif bahkan agresif untuk bicara. Karena bicara adalah kewajiban utama,” katanya dalam akun twitter-nya @Fahrihamzah yang diposting, Rabu (18/10/2017).

Fahri membanding gaya kepemimpinan Presiden Joko Widodo atau Jokowi dengan Presiden AS Donald Trump. Kata dia kalau Trump, tiap hari ngomong aja kerjanya. “Lihatlah di CNN dan Fox News. Presiden Amerika (Trump), tiap hari ngomong aja kerjanya. Di channel lokal presiden kita kerja aja kerjanya,” tulisnya

Di Amerika, tambah politisi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, ada istilah yang menjadi istilah politik umum; Bully Pulpit. Itulah dasar pemimpin Amerika yang banyak bicara. “Kata Bully kita tahu artinya ‘menggertak’ bahkan sekarang banyak berkonotasi negatif. Kata pulpit artinya ‘mimbar’. Tapi Bully Pulpit sebagai konsep adalah penggunaan posisi publik yang berpengaruh untuk meyakinkan publik,” terangnya.

Di AS, menurut Fahri kata Bully bermakna positif. Bahkan, orang yang memiliki mimbar harus punya kesadaran untuk meyakinkan bangsanya. “Itulah yang setiap hari dilakukan presiden Amerika sehingga mereka bisa meyakinkan bangsa besar untuk berubah,” katanya.

Dalam tradisi presidensialisme Amerika, Fahri sebut ada menteri urusan media (Press Secretary) yang saban hari masuk TV dan bicara. Dan menteri dimaksud, tugasnya melayani media sampai puas dan nggak ada pertanyaan lagi. Supaya utuh pesannya. “Jadi baik presiden maupun juru bicaranya sangat aktif bahkan agresif untuk bicara. Karena bicara adalah kewajiban utama,” jelasnya.

Tetapi di tempat Indonesia, Fahri melihat pemimpin yang banyak bicara dianggap kurang baik reputasinya. “Dianggap nggak kerja alias ‘ngomong doang’. Lalu, presiden kita pun menganggap banyak bicara nggak bagus. Semboyannya kerja.. kerja.. kerja…,” bebernya.

Sayangnya, presiden lupa bahwa dalam kapasitas sebagai presiden dari negara berpenduduk besar dan tersebar, bicara itu utama. “Bangsa ini terbentuk karena pidato. Solidaritas sebagai bangsa kita dibangun melalui narasi yang mengalir dari lidah pemimpin,” ujarnya mengingatkan.

Bahkan Bung Karno, tambah Fahri, menyebut dirinya sebagai ‘penyambung lidah rakyat Indonesia’. Dia juga yang mengeja kosa kata INDONESIA! “Pidato Sukarno bahkan menggelegar mengubah wajah dunia. Melahirkan kemerdekaan bangsa-bangsa di dunia,” katanya.

Sekarang, penduduk Indonesia tambah banyak, memiliki wilayah yang luas tapi terancam berkurang oleh banyak alasan. Mengapa? Salah satu sebabnya adalah karena setiap pagi kita bangun kita tidak melihat seseorang berbicara dengan lantang. “Setiap pagi kita bangun dengan berita tangkap tangan. Dan tak seorang pun bisa menjelaskan kenapa ini terus berjalan?” ujarnya

Fahri mengingatkan bahwa suatu bangsa pemimpinnya lebih banyak diam dan membiarkan bangsanya bangun bagi dengan ketiadaan tujuan. “Alangkah malang nasib kita. Karena istana tidak memancarkan aura kebangkitan tapi kelemahan dan keputusasaan. Nanti begitu ada masalah, presiden memberi keterangan singkat, ‘jangan gaduh’ padahal masalah nggak selesai. Padahal, menunda masalah adalah merakit bom waktu. Wallahualam,” tutupnya. ***

Print Friendly, PDF & Email

BERITA POPULER

To Top